SIAPAPUN ORANGNYA, SOMBONG (TAKABBUR) HUKUMNYA TETAP HARAM

 

Sifat sombong (al-kibr) dan menyombongkan diri (al-takabbur) merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya. Kesombongan, menurut Ghazali, bermula dari kekaguman seseorang kepada diri sendiri (al-`ujb), lalu memandang rendah orang lain. Sifat sombong merupakan sikap batin yang terejawantahkan dalam perbuatan dan tindakan yang cenderung destruktif dan diskriminatif.

Penyakit yang satu ini, menurut Ghazali, patut diwaspadai, karena tak hanya menyerang manusia secara umum, tetapi justru lebih banyak menyerang orang-orang pandai, para pakar, termasuk para ulama, kecuali sedikit orang dari mereka yang mendapat bimbingan dan petunjuk dari Allah SWT.

Nabi Musa AS konon dianggap telah melakukan “kesombongan intelektual” ketika beliau berkata, “Ana a`lamul-qaum” (akulah orang paling pandai kaum/ummat (di negeri ini)).

Sepintas lalu, pernyataan ini dapat dianggap wajar karena dikemukakan oleh seoang Nabi yang ditugaskan Allah SWT untuk membebaskan rakyat Mesir dari perbudakan Raja Firaun. Namun, Allah SWT memandang pernyataan Musa itu berlebihan.

Karena itu, Nabi Musa ditegur oleh Allah dan diberi pembelajaran melalui dua cara.
Pertama, Nabi Musa dipertemukan dengan seorang (Khidir) yang memiliki tingkat pengetahuan dan kearifan yang jauh lebih tinggi dari Musa.

Seperti diceritakan secara panjang lebar dalam surah al-Kahfi, Nabi Musa seakan-akan “dipelonco” oleh Khidir karena ia tak memiliki wawasan keilmuan seluas Khidir, baik secara filosofis maupun epistemologis. Akhirnya, Khidir terpaksa meninggalkan Musa seraya berkata,

قَالَ إِنَّكَ لَنْ تَسْتَطِيعَ مَعِيَ صَبْرًا (٦٧

Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.” (QS al-Kahfi [18]: 67).

Kedua, Allah mengajarkan kepada Nabi Musa doa yang berisi etos dan moral seorang ilmuwan (intelektual).

Rabbi zidni `ilman“(Ya Allah tambahkan kepadaku ilmu pengetahuan).

Doa ini diajarkan juga kepada Nabi Muhammad SAW dan selanjutnya kepada kita semua, orang-orang beriman.

Doa ini penting, karena mengajarkan kepada kita beberapa etika keilmuan.

Pertama, etos dan moral intelektual adalah belajar, menemukan kebenaran, dan mengembangkan ilmu.

Kedua, ilmu pengetahuan bersifat dinamis, tumbuh dan berkembang (growing and developing) setingkat dengan kerja ilmiah para ilmuwan.

Ketiga, apa yang telah diketahui pasti lebih sedikit daripada yang belum diketahui. Kenyataan inilah yang membuat para ilmuwan tak boleh sombong, tetapi harus rendah hati (tawadhu’).

Socrates, filosof Yunani, pernah menunjukkan sikap rendah hati itu sewaktu ia berkata,
“I only know that I don’t know.” (Aku hanya tahu bahwa aku tidak tahu).

Imam Syafii, pendiri Mazhab Syafii, lebih tawadhu lagi. Disebutkan, setiap kali beliau memperoleh tambahan ilmu, beliau selalu menangis, karena makin sadar betapa banyak ilmu yang belum diketahuinya.

Agar tidak seperti kodok dalam tempurung, para ilmuwan harus belajar dan menumbuhkan sikap rendah hati, persis seperti pesan doa yang diajarkan oleh Allah SWT kepada Nabi Musa AS di atas. Logikanya begini, kalau sifat rendah hati datang, maka segala bentuk kesombongan dan arogansi pasti menghilang.

 

 

About Muhammad Taqiyyuddin Alawiy

- PENGASUH PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI'IYAH NURUL HUDA MERGOSONO KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG - Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang
This entry was posted in Makalah Agama Islam. Bookmark the permalink.

Leave a Reply