SEJARAH MBAH SLAGAH PEJUANG KOTA PASURUAN

Mbah Slagah di lahirkan di Keboncandi, Kabupaten Pasuruan. Beliau bernama asli Sayyid Hasan Sanusi, putra Sa’ad bin Syakaruddin keturunan dari sayyid Sholeh Semendi Winongan (kakak kandung Sayyidah Khodijah Binti Hasanuddin Bin Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati) dan Insya Allah silsilahnya terus sampai kepada Sayyidatina Fatimah putri junjungan kita Nabi Besar Muhammad shalallahu alaihi wasallam.

Asal Nama Slagah

Nama Slagah berarti singa putih. Sebab dinamakan Slagah, menurut keterangannya, saat berjuang melawan penjajah dulu, sosok Mbah Slagah bisa tampak seperti singa putih yang siap menerkam sehingga dinamakan Slagah.

Mbah Hasan Sanusi, menyebarkan Agama Islam di daerah Malang, maka mendapat julukan Mbah Slagah (Macan Putih). Selanjutnya di Pasuruan terjadi peperangan dengan Belanda yang menimbulkan banyak korban, akan tetapi pada akhirnya Belanda gagal dalam menduduki Pasuruan.

Penyebar Islam

Mbah Slagah adalah seorang mubaligh dan penyebar agama Islam yang senantiasa mendekatkan hatinya kepada Allah swt. Dalam menunaikan tugas yang suci dan mulia ini beliau tidak mengenal lelah atau putus asa, demi berkembanynga agama Allah, khususnya di daerah Pasuruan dan sekitarnya. Selain beliau sebagai seorang mubaligh yang gigih menyebarkan agama Islam, beliau juga sebagai pejuang bangsa dan pembela tanah air.

Seorang Pejuang

Mbah Slagah adalah seorang pejuang dalam pertempuran tersebut. Setelah perang usai, Bupati Pasuruan menghendaki Mbah Slagah menetap di Pasuruan, yang akhirnya mendirikan masjid Jami’ hingga saat ini. Selain sebagai Pejuang, Mbah Slagah juga seorang ulama besar pula, dimana wafatnya selalu diperingati dengan memberikan do’a bersama yang agak unik oleh ahli waris atau keturunan serta umat islam yang ada di Pasuruan dan sekitarnya dengan cara pembacaan syair do’a setiap hari raya ketujuh (Hari Raya ketupat), bulan syawal.

Sebagai seorang kyai , beliau tidak kenal lelah dalam melakukan syiar agama Islam di seluruh Pasuruan dan sekitarnya. Hingga akhirnya, penyebarannya sampai di daerah Malang. Saat itu, penjajahan Belanda mulai dirasakan di Pasuruan. Untuk itu, beliau diminta Bupati Pasuruan saat itu, Raden Surgo, untuk kembali ke Pasuruan guna melawan penjajah. Belanda saat itu memasuki Pelabuhan Utara yang terletak di Mayangan.

Perjuangan mengusir penjajah Belanda berhasil, meski adik Mbah Slagah, Mbah Khotib (kalau tidak salah), harus meninggal dari tangan penjajah, yang dimakamkan di Mayangan (sebelah selatan pabrik Boma).

Membangun Masjid

Setelah itu, oleh bupati dia disuruh menetap di Pasuruan kota, tepatnya di Desa Kebonsari, Kecamatan Bugul. Dia juga diberi kepercayaan untuk mendirikan masjid besar di wilayah tersebut. Masjid Agung Al-Anwar tersebut terus berdiri megah hingga sekarang di tengah-tengah kota, yang didirikan bersama Bupati Pasuruan Nitiadinigrat I.

Mbah Slagah kala itu merasa belum ada masjid utama di Pasuruan yang dapat dijadikan tempat beribadah jemaah. Ia sempat ingin membangun sebuah masjid di kawasan Kebonsari. Namun akhirnya Bupati kala itu memberikan sebidang tanah untuk Mbah Slagah di dekat alun-alun Pasuruan.

Meski Mbah Slagah berjasa bagi masjid tersebut, beliau berbeda dengan pendiri masjid-masjid bersejarah lain di mana mereka akan dimakamkan dekat dengan masjid yang ia dirikan. Namun, Mbah Slagah enggan melakukan hal tersebut. Jenazah Mbah Slagah disemayamkan di komplek makam Mbah Slagah, Jalan Slagah Pekuncen Panggung Rejo Pasuruan.

Masjid Agung Al Anwar luasnya mencapai 3.770 meter persegi, termasuk komplek pemakaman KH Abdul Hamid yang terletak di belakang. Uniknya, warga Pasuruan lebih familiar mengenal Masjid Agung Al Anwar dengan sebutan Masjid Jami’. Wisatawan pun dibuat bingung lantaran tidak ada petunjuk nama masjid yang terpampang di depannya.

Sebab Dikubur di Pekuncen

Ada cerita menarik saat Belanda mencarinya di tengah-tengah pertempuran. Mengenai sebab-musabab dimakamkannya Mbah Slagah di pemakaman Kedunglo ini, diawali dengan sebuah kisah :

Pada suatu hari terjadilah pertempuran sengit, dimana Mbah Slagah dikejar-kejar Belanda dan beliau masuk ke salah satu rumah untuk bersembunyi. Pemilik rumah tersebut adalah Den Ayu Beri yang mempersilahkan Mbah Slagah untuk segera bersembunyi didalam kain yang sedang dibatik oleh Den Ayu Beri. Den Ayu Beri adalah ibu daripada Raden Grudo, bupati Pasuruan pertama. Atas pertolongan itulah maka Mbah Slagah selamat dari kejaran Belanda. Akibat peristiwa tersebut Mbah Slagah merasa berhutang budi kepada Den Ayu Beri. Sebagai tanda terimakasih mbah Slagah menanyakan kepada Den Ayu Beri. “Apa yang kau pinta?.” Maka Den Ayu Beri menjawab : “Saya tidak minta apa-apa, hanya berwasiatlah kepada keluargamu, bila kau meninggal dunia mintalah dimakamkan disamping kuburku. Dan akupun akan berwasiat serupa kepada keluargaku.”

Den Ayu Beri

Siapakah Den Ayu Beri ? Beliau adalah putri dari selir Kanjeng Susuhunan Pakubuwono II dan yang menjadi istri Bupati Pasuruan, Kyai Ngabehi Wongsonegoro, yang bergelar Tumenggung Nitinegoro. Den Ayu Beri merupakan keturunan Sunan Ampel, memiliki seorang anak yang bernama Raden Groedo yang kemudian menggantikan ayahnya sebagai bupati Pasuruan dengan gelar Tumenggung Nitiadiningrat I, memerintah hingga 7 Nopember 1799 M, selama 48 tahun.

Besan

Mbah slagah ini juga adalah teman akrab dan besan dari pada Sayyid Ali Akbar Bin Sulaiman Bin Abdurrahman. Putri beliau yang bernama Sayyidah Muthi’ah dinikahkan dengan putra sayyid paling kecil Sayyid Ali Akbar yang bernama Sayyid Ali Ashghor (pernikahan itu terjadi ketika Sayyid Ali Akbar sudah tidak ada karena dibawa belanda) .

Haul Mbah Slagah Yang Unik

Kebesaran nama Mbah Slagah ternyata benar-benar berbekas di benak masyarakat Pasuruan. Kenyataan itu terlihat saat peringatan wafat (Haul). Ribuan masyarakat berduyun-duyun mengenang kembali sejarah tokoh pejuang dan penyebar agama di Pasuruan. Warga dari berbagai pelosok kota dan kabupaten Pasuruan, sudah mulai berdatangan sejak malam hari sebelum acara haul itu dimulai. Mereka mengikuti beberapa rangakaian acara yang digelar panitia di pelataran makam Mbah Slagah di kawasan Jalan Slagah gang lima, bersebelahan sebuah mushollah kecil di samping selatan makam itu.

Rentetan acara itu sendiri berupa hataman Al–Qur’an, pembacaan surat Yasin dan Tahlil serta pembacaan diba’. Pembacaan diba’ itu sendiri berlangsung cukup istimewa, pasalnya sejarah singkat yang menceritakan hal ihwal kelahiran Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam itu dibaca dengan iringan puluhan grup hadrah secara bergantian.

Uniknya juga, haul yang diselenggarakan setiap tahun, oleh keluarga bersama masyarakat dikawasan Pekuncen itu, tanpa suguhan makanan bagi para pengunjung. Berbeda dengan haul yang diselenggarakan di tempat-tempat lain, biasanya panitian menyediakan makanan bagi para tamu.

Hanya saja, masyarakat sekitar makam Mbah Slagah menyediakan makanan berupa ketupat di masing-masing rumahnya. Usai mengikuti acara haul dipersilahkan singgah ke rumah yang disukai, dan bisa menikmati hidangan yang telah disiapkan.

Keunikan lainnya ada pada undangan. Dari ribuan pengunjung yang datang tak satupun yang diundang. Baik undangan kepada ulama, pemerintah maupun masyarakat. Mereka datang secara sukarela mendengar dan menghayati secara khusyuk perjuangan tokoh pejuang dan penyiar agama yang memiliki nama asli Mbah Slagah ini. Bahkan masyarakat Tionghoa dan masyarakat non pribumi juga tak ketinggalan memberi sumbangan pelaksanaan haul.

About Muhammad Taqiyyuddin Alawiy

- PENGASUH PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI'IYAH NURUL HUDA MERGOSONO KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG - Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang
This entry was posted in MANAQIBUL ULAMA. Bookmark the permalink.

Leave a Reply