HASIL BAHTSUL MASAIL, MEMILIH PEMIMPIN NON MUSLIM

*HASIL BAHTSUL MASAIL LIVE PCNU KOTA SURABAYA*

Bahtsul Masail Ke-2
PCNU Kota Surabaya Periode 2015-2020 M
Di Masjid Sabil Al-Mutathahhirin Barata Jaya Surabaya, Ahad 25 September 2016.

*MUSAHIH :*
KH. Mas Sulaiman
KH. Mas Mahfudz
KH. Ahmad Asyhar Shofwan M.Pd.I.
KH. Farohi Haroen
KH. M. Ali Maghfur Syadzili Iskandar. S.Pd.I

*PERUMUS :*
K. Makruf Khozin
KH. Sholihin Hasan, M.H.I.
K. Luqmanul Hakim, S.Pd.I
K. Mas Gholib Basyaiban

*MODERATOR :*
Ahmad Muntaha AM

*NOTULEN :*
KH. Muhammad Muhgits
K. Nur Hadi, S.H.I

DUKUNGAN KEPADA PEMIMPIN NON MUSLIM (PCNU )

*DESKRIPSI MASALAH*

Sistem demokrasi dan pemilihan langsung yang berlaku di Indonesia memungkinkan semua orang berkompetisi menjadi kandidat pimpinan baik di tingkat pusat maupun daerah, sehingga terurailah monopoli etnis, ras maupun agama untuk menduduki tampuk kepempimpinan.

Namun demikian, secara riil hal ini memunculkan problem tersendiri dan menjadi perbincangan hangat ketika di suatu daerah yang mayoritas masyarakatnya menganut agama atau merupakan suku/ras tertentu, sementara bakal calon pemimpin yang ada dan berkemungkinan memenangkan suksesi justru dari penganut agama atau suku/ras lainnya. Semisal daerah mayoritas muslim, justru yang kuat ternyata dari non muslim. Selain itu, adapula seorang muslim yang mungkin saja secara politik lebih dekat dengan non muslim sehingga menjadi tim suksesnya.

*PERTANYAAN*

1. Apakah seorang muslim boleh memilih kandidat pemimpin non muslim, baik di tingkat daerah seperti Bupati/Walikota/Wakil, maupun di tingkat yang lebih tinggi seperti Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden ?

2. Apakah hukum memilih calon wakil rakyat (DPRD/DPR, DPD) sama hukumnya dengan memilih kandidat pemimpin non muslim ?

3. Apakah seorang muslim dibenarkan menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat non muslim (eksekutif dan legislatif), karena kedekatan politik dan pertimbangan politik lain yang terkadang tidak dipahami oleh masyarakat pada umumnya ?

*MUKADDIMAH*

Pembahasan permasalahan ini tidak dimaksudkan untuk menebarkan isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar golongan) dan merusak hubungan lahiriah (muamalah zhahirah) yang telah terjalin secara baik antara muslim dan non muslim di Indonesia. Namun benar-benar dimaksudkan sebagai petunjuk (irsyad) bagi kaum muslimin dalam berpartisipasi membangun negeri sesuai ajaran agama yang diyakininya.

Pembahasan serupa pernah diselenggarakan dalam Muktamar NU Ke-30 di PP. Lirboyo Kota Kediri Jawa Timur, 21-27 November 1999. Namun keputusan tersebut tidak secara terang-terangan mencantumkan, bahwa non muslim yang menangani urusan kaum muslimin dalam kondisi darurat wajib harus dicegah agar tidak sampai menguasai dan mendominasi (istila’) satu orang pun dari kaum muslimin. Sebab itu, keputusan dalam pembahasan ini secara prinsip tidak bertentangan dengan keputusan Muktamar NU tersebut.

*Jawaban 1*
Hukum memilih pemimpin non muslim seperti Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Wakil Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur dan Presiden/Wakil Presiden adalah haram. Sebab, memilihnya berarti mengangkatnya sebagai pemimpin dan menjadikan kaum muslimin di bawah kekuasaan, dominasi dan superioritasnya. Hal ini juga selaras dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ. (المائدة: /51).

Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan kaum Yahudi dan Nasrani sebagai penolong/penguasa. Sebagian mereka menjadi penolong sebagian yang lain. Orang dari kalian yang menolong mereka, maka ia termasuk bagian darinya. Sungguh Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.” (QS. Al-Maidah : 51).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ. وَاتَّقُوا اللهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (المائدة: 57).

Wahai orang-orang yang beriman, jangan kalian jadikan orang-orang yang menjadikan agama kalian sebagai gurauan dan permainan dari golongan ahli kitab dari sebelum kalian dan orang-orang kafir sebagai penolong/penguasa. Bertakwalah kalian kepada Allah jikan kalian adalah orang-orang yang beriman. (QS. Al-Maidah: 57).

*Beberapa Pertimbangan*

Dalam kebanyakan kasus yang dikaji kitab-kitab fikih, hukum menguasakan non muslim untuk menangani urusan kaum muslimin adalah haram. Seperti keharaman meminta tolong non muslim untuk memerangi pemberontak, menjadikannya sebagai eksekutor hukuman mati dan semisalnya, mengangkatnya sebagai pegawai bait al-mal dan penarik kharraj (semacam pajak), menjadikannya sebagai wazir at-tanfidz (semacam tim pelaksana dalam kementerian di sistem ketatanegaraan Islam klasik), serta mengurus urusan kaum muslimin secara umum.

Meskipun ada pendapat ulama (Syaikh Ali Syibramalisi) yang mengecualikan keharaman dalam bidang-bidang tertentu yang dari sisi kemaslahatan penangannya harus diserahkan kepada non muslim―baik karena tidak adanya muslim yang mampu menanganinya atau karena tampaknya pengkhianatan darinya―, namun pendapat tersebut tidak bisa digunakan untuk melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim. Sebab kekuasaan, dominasi, dan superioritasnya baik dalam ucapan maupun perbuatan terhadap rakyat yang muslim sangat besar dan tidak terhindarkan. Selain itu, kewajiban adanya kontrol yang efektif pun tidak mungkin terpenuhi, yaitu mengawasi dan mencegahnya agar tidak menguasai dan mendominasi satu orang pun dari kaum muslimin.

Meskipun dalam beberapa kasus yang disebutkan pada poin 1) terdapat khilaf, seperti menjadikan non muslim sebagai wazir at-tanfidz dan menjadikannya sebagai petugas penarik pajak, namun pendapat yang lemah yang membolehkannya ini tidak bisa dijadikan dasar untuk membolehkan memilih pemimpin non muslim. Sebab unsur kekuasaan, dominasi dan superioritas non muslim atas kaum muslimin dalam kasus-kasus tersebut sangat kecil atau bahkan tidak ada. Tidak sebagimana dalam kasus pemimpin non muslim menjadi Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/Walikota, Gubernur/Wakil Gubernur, dan Presiden/Wakil Presiden, yang meskipun secara legal formal sistem tata negara modern merupakan lembaga eksekutif atau pelaksana saja, namun pada kenyataannya unsur kekuasaan, dominasi dan superioritasnya terhadap rakyat muslim sangat besar. Selain itu, kewenangannya dalam mengambil berbagai kebijakan juga sangat besar, berbeda dengan wazir at-tanfidz maupun petugas penarik pajak yang hanya murni sebagai pelaksana saja.

Sistem trias politica yang membagi kekuasaan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, yang diterapkan di Indonesia tidak dapat menafikan unsur dominasi dan superioritas masing-masing lembaga terhadap rakyat. Karena itu, asumsi bahwa rumusan hukum fikih mazhab sama sekali tidak bisa diterapkan dalam konteks perpolitikan sekarang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Asumsi memilih pemimpin non muslim sebagai strategi politik untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi kaum muslimin juga tidak dapat dibenarkan. Sebab hal ini secara nyata justru membahayakan kaum muslimin.

Pendapat ulama yang terkesan lebih mengutamakan kekuasaan sekuler (baca: kafir) yang adil daripada kekuasaan Islam yang zalim dan jargon: Pemimpin kafir yang adil lebih baik daripada pemimpin muslim yang zalim, harus dipahami dalam konteks menyampaikan urgensitas keadilan bagi suatu pemerintahan, sebagaimana pendapat ulama Ahlussunnah wal Jamaah, bukan dalam konteks melegitimasi kebolehan memilih pemimpin non muslim.

Asumsi bahwa penafsiran kata auliya dengan makna pemimpin/penguasadalam beberapa ayat yang menyinggung hubungan muslim dan non muslim, semisal QS. al-Maidah: 51 dan 57—adalah penafsiran yang salah, sehingga digunakan untuk melegitimasi bolehnya memilih pemimpin non muslim, tidak sepenuhnya benar. Sebab ayat-ayat tersebut oleh sebagian ulama juga digunakan sebagai landasan ketidakbolehan menguasakan urusan ketatanegaraan kaum muslimin kepada non muslim, seperti Khalifah Sayyidina Umar bin al-Khattab ra dan Khalifah Umar bin Abdul Aziz RA sebagaimana dikutip dalam berbagai kitab fikih siyasah. Seperti dalam Husn as-Suluk al-Hafizh Daulah al-Muluk (h. 161) karya Muhammad bin Muhammad al-Mushili as-Syafii, Maalim al-Qurbah fi Thalab al-Hisbah (h. 44) karya Ibn al-Ukhuwwah al-Qurasyi as-Syafi’i, dan Siraj al-Muluk (h. 111) karya Muhamad bin al-Walid at-Tharthusyi al-Maliki.

*Referensi :*

تحرير الأحكام في تدبير أهل الإسلام لابن جماعة الشافعي(ص 146-147)
ولا يجوز تولية الذمي في شيء من ولايات المسلمين إلا في جباية الجزية من أهل الذمة أو جباية ما يؤخذ من تجارات المشركين . فأما ما يجبى من المسلمين من خراج أو عشر أو غير ذلك فلا يجوز تولية الذمي فيه، ولا تولية شيء من أمور المسلمين. قال تعالى : ولن يجعل الله للكافرين على المؤمنين سبيلا. ومن ولى ذميًا على مسلم فقد جعل له سبيلًا عليه. وقال تعالى: ولا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعضٍ ومن يتولهّم منكم فإنّه منهم، ولأن تولية الكافر على المسلم تتضمن إعلاءه عليه وإعزازه بالولاية، وذلك مخالف للشريعة وقواعدها.

(1) ابن جماعة (639 – 733 م = 1241 – 1333 م) محمد بن إبراهيم بن سعد الله بن جماعة الكناني الحموي الشافعي، بدر الدين، أبو عبد الله: قاض، من العلماء بالحديث وسائر علوم الدين.

معالم القربة في طلب الحسبة لابن الأخوة القرشي الشافعي(1) (ص 43)
وَلَمَّا وُلِّيَ أَبُو مُوسَى الْأَشْعَرِيُّ الْبَصْرَةَ وَقَدِمَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ( فَوَجَدَهُ فِي الْمَسْجِدِ فَاسْتَأْذَنَ عَلَيْهِ فَأَذِنَ لَهُ، وَاسْتَأْذَنَ لِكَاتِبِهِ، وَكَانَ نَصْرَانِيًّا. فَلَمَّا دَخَلَ عَلَى عُمَرَ وَرَآهُ، فَقَالَ: قَاتَلَكَ اللهُ يَا أَبَا مُوسَى، وَلَّيْتَ نَصْرَانِيًّا عَلَى الْمَالِ. وَكَتَبَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ إلَى بَعْضِ عُمَّالِهِ وَقَدْ اتَّصَلَ بِهِ أَنَّهُ اتَّخَذَ كَاتِبًا يُقَالُ لَهُ حَسَّانُ. بَلَغَنِي أَنَّكَ اسْتَعْمَلَتْ حَسَّانَ وَهُوَ عَلَى غَيْرِ دِينِ الْإِسْلَامِ، وَاللهُ تَعَالَى يَقُولُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ. وَقَالَ تَعَالَى: لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا، وَلَعِبًا مِنْ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ، وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ، وَاتَّقُوا اللهَ إنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. وَإِذَا أَتَاك كِتَابِي هَذَا فَادْعُ حَسَّانَ إلَى الْإِسْلَامِ فَإِنْ أَسْلَمَ فَهُوَ مِنَّا، وَنَحْنُ مِنْهُ، وَإِنْ أَبَى فَلَا تَسْتَعِنْ بِهِ. فَلَمَّا جَاءَهُ الْكِتَابُ قَرَأَهُ عَلَى حَسَّانَ فَأَسْلَمَ وَعَلَّمَهُ الطَّهَارَةَ وَالصَّلَاةَ. وَهَذَا أَصْلٌ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ فِي تَرْكِ الِاسْتِعَانَةِ بِالْكَافِرِ فَكَيْفَ اسْتِعْمَالُهُمْ عَلَى رِقَابِ الْمُسْلِمِينَ.

(1) ابن الاخوة (648 – 729 ه = 1250 – 1329 م) محمد بن محمد بن أحمد بن أبي زيد بن الاخوة، القرشي، ضياء الدين: محدث.

سراج الملوك للطرطوشي المالكي (ص 111)
ولما استقدم عمر بن الخطاب رضي الله عنه أبا موسى الأشعري من البصرة وكان عاملاً عليها للحساب، دخل على عمر وهو في المسجد فاستأذن لكاتبه وكان نصرانياً فقال له عمر رضي الله عنه: قاتلك الله! وضرب بيده على فخذه، وليت ذمياً على المسلمين أما سمعت الله تعالى يقول: ” يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض ومن يتولهم منكم فإنه منهم؟ ” المائدة: 51 ألا اتخذت حنيفاً؟ قال: يا أمير المؤمنين لي كتابته وله دينه. فقال: لا أكرمهم إذ أهانهم الله ولا أعزهم إذ أذلهم الله ولا أدنيهم إذ أقصاهم الله. … وقال عمر بن أسد: أتانا كتاب عمر بن عبد العزيز ( إلى محمد بن المنتشر: أما بعد فإنه بلغني أن في عملك رجلاً يقال له حسان بن بردا على غير دين الإسلام، والله تعالى يقول: ” يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا الذين اتخذوا دينكم هزواً ولعباً من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم والكفار أولياء واتقوا الله إن كنتم مؤمنين ” المائدة: 57 فإذا أتاك كتابي هذا فادع حسان إلى الإسلام فإن أسلم فهو منا ونحن منه وإن أبى فلا تستعن به ولا تأخذ من غير أهل الإسلام على شيء من أعمال المسلمين، فقرأ الكتاب عليه فأسلم.

تحفة المحتاج و حواشي الشرواني (ج 9 / ص 72-73)
(وَلَا يُسْتَعَانُ عَلَيْهِمْ بِكَافِرٍ) ذِمِّيٍّ أَوْ غَيْرِهِ إلَّا إِنْ اضْطُرِرْنَا لِذَلِكَ.
(قَوْلُ الْمَتْنِ وَلَا يُسْتَعَانُ إلَخْ) أَيْ يَحْرُمُ ذَلِكَ ا هـ سم عِبَارَةُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةِ تَنْبِيهٌ ظَاهِرُ كَلَامِهِمْ أَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ وَلَوْ دَعَتْ الضَّرُورَةُ إلَيْهِ لَكِنَّهُ فِي التَّتِمَّةِ صَرَّحَ بِجَوَازِ الِاسْتِعَانَةِ بِهِ أَيْ الْكَافِرِ عِنْدَ الضَّرُورَةِ وَقَالَ الْأَذْرَعِيُّ وَغَيْرُهُ إنَّهُ الْمُتَّجِهُ ا هـ . (قَوْلُ الْمَتْنِ: بِكَافِرٍ) أَيْ لِأَنَّهُ يَحْرُمُ تَسْلِيطُهُ عَلَى الْمُسْلِمِ نِهَايَةٌ وَمَنْهَجٌ. زَادَ الْمُغْنِي: وَلِذَا لَا يَجُوزُ لِمُسْتَحِقِّ الْقِصَاصِ مِنْ مُسْلِمٍ أَنْ يُوَكِّلَ كَافِرًا فِي اسْتِيفَائِهِ وَلَا لِلْإِمَامِ أَنْ يَتَّخِذَ جَلَّادًا كَافِرًا لِإِقَامَةِ الْحُدُودِ عَلَى الْمُسْلِمِينَ اهـ . وَقَالَ ع ش بَعْدَ نَقْلِ مَا ذُكِرَ عَنْ الزِّيَادِيِّ: أَقُولُ وَكَذَا يَحْرُمُ نَصْبُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ. نَعَمْ، إِنْ اقْتَضَتِ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَتَهُ فِي شَيْءٍ لَا يَقُومُ بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ ظَهَرَ فِيمَنْ يَقُومُ بِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خِيَانَةٌ وَأُمِنَتْ فِي ذِمِّيٍّ وَلَوْ لِخَوْفِهِ مِنِ الْحَاكِمِ مَثَلًا، فَلَا يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَتِهِ فِيهِ لِضَرُورَةِ الْقِيَامِ بِمَصْلَحَةِ مَا وُلِّيَ فِيهِ. وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ يُنَصِّبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِمَا فِيهِ اسْتِعْلَاءٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ اهـ .

رد المحتار – (ج 4/ ص 211)
وَلَا يَخْفَى أَنَّ اسْتِعْلَاءَهُ فِي الْبِنَاءِ عَلَى جِيرَانِهِ الْمُسْلِمِينَ خِلَافُ الصَّغَارِ … وَلَا يَخْفَى أَنَّ لَفْظَ اسْتَعْلَى يَشْمَلُ مَا بِالْقَوْلِ وَمَا بِالْفِعْلِ.

الأحكام السلطانية (ج 1 / ص 43)
(فَصْلٌ) وَأَمَّا وَزَارَةُ التَّنْفِيذِ فَحُكْمُهَا أَضْعَفُ وَشُرُوطُهَا أَقَلُّ، لِأَنَّ النَّظَرَ فِيهَا مَقْصُورٌ عَلَى رَأْيِ الْإِمَامِ وَتَدْبِيرِهِ. وَهَذَا الْوَزِيرُ وَسَطٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الرَّعَايَا وَالْوُلَاةِ يُؤَدِّي عَنْهُ مَا أَمَرَ وَيَنْفُذُ عَنْهُ مَا ذَكَرَ وَيُمْضِي مَا حَكَمَ وَيُخْبِرُ بِتَقْلِيدِ الْوُلَاةِ وَتَجْهِيزِ الْجُيُوشِ وَيَعْرِضُ عَلَيْهِ مَا وَرَدَ مِنْ مُهِمٍّ وَتَجَدَّدَ مِنْ حَدَثٍ مُلِمٍّ، لِيَعْمَلَ فِيهِ مَا يُؤْمَرُ بِهِ. فَهُوَ مُعِينٌ فِي تَنْفِيذِ الْأُمُورِ وَلَيْسَ بِوَالٍ عَلَيْهَا وَلَا مُتَقَلِّدًا لَهَا. وَلَا يَجُوزُ أَنْ تَقُومَ بِذَلِكَ امْرَأَةٌ وَإِنْ كَانَ خَبَرُهَا مَقْبُولًا لِمَا تَضَمَّنَهُ مَعْنَى الْوِلَايَاتِ الْمَصْرُوفَةِ عَنْ النِّسَاءِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ(: مَا أَفْلَحَ قَوْمٌ أَسْنَدُوا أَمْرَهُمْ إلَى امْرَأَةٍ. وَلِأَنَّ فِيهَا مِنْ طَلَبِ الرَّأْيِ وَثَبَاتِ الْعَزْمِ مَا تَضْعُفُ عَنْهُ النِّسَاءُ، وَمِنَ الظُّهُورِ فِي مُبَاشَرَةِ الْأُمُورِ مَا هُوَ عَلَيْهِنَّ مَحْظُورٌ. وَيَجُوزُ أَنْ يَكُونَ هَذَا الْوَزِيرُ مِنْ أَهْلِ الذِّمَّةِ وَإِنْ لَمْ يَجُزْ أَنْ يَكُونَ وَزِيرُ التَّفْوِيضِ مِنْهُمْ.

غياث الأمم (ص 114)
وذكر مصنف الكتاب المترجم بالأحكام السلطانية إن صاحب هذا المنصب يجوز أن يكون ذميا وهذه عثرة ليس لها مقيل وهي مشعرة بخلو صاحب الكتاب عن التحصيل فإن الثقة لا بد من رعايتها وليس الذمي موثوقا به في أفعاله وأقواله وتصاريف أحواله وروايته مردودة وكذلك شهادته على المسلمين فكيف يقبل قوله فيما يسنده ويعزيه إلى إمام المسلمين.

روضة الطالبين (ج 6 / ص 367)
وأما تولية الذمي فإن كانت جباية من أهل الذمة كالجزية وعشر التجار جازت، وإن كانت من المسلمين ففي جوازها وجهان. قلت: الأصح المنع. والله أعلم.

مفاتيح الغيب (ج 8 / ص 10-12)
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ (آل عمران: 28)
وفي الآية مسائل … المسألة الرابعة: اعلم أن للتقية أحكامًا كثيرة ونحن نذكر بعضها. الحكم الأول: أن التقية إنما تكون إذا كان الرجل في قوم كفار ويخاف منهم على نفسه وماله فيداريهم باللسان. وذلك بأن لا يظهر العداوة باللسان بل يجوز أيضًا أن يظهر الكلام الموهم للمحبة والموالاة ولكن بشرط أن يضمر خلافه وأن يعرض في كل ما يقول، فإن التقية تأثيرها في الظاهر لا في أحوال القلوب. الحكم الثاني للتقية: هو أنه لو أفصح بالإيمان والحق حيث يجوز له التقية كان ذلك أفضل ودليله ما ذكرناه في قصة مسيلمة. الحكم الثالث للتقية: أنها إنما تجوز فيما يتعلق بإظهار الموالاة والمعاداة. وقد تجوز أيضًا فيما يتعلق بإظهار الدين. فأما ما يرجع ضرره إلى الغير كالقتل والزنا وغصب الأموال والشهادة بالزور وقذف المحصنات واطلاع الكفار على عورات المسلمين، فذلك غير جائز ألبتة.

حسن السلوك الحافظ دولة الملوك لمحمد بن محمد بن عبد الكريم الموصلي الشافعي (ص 161)
الفصل الثالث عشر عدم تولية اليهود والنصارى على المسلمين. لا يجوز تولية اليهود والنصارى على المسلمين ولا استكتابهم على بيت مال المسلمين. عمر بن الخطاب وكاتب أبي موسى الأشعري: وقد أنكر ذلك من السلف عمر بن الخطاب (. فإن عمر كان قد ولى أبا موسى الأشعري على البصرة فجاء إليه فقال: اكتب لي الحساب. فانطلق فكتب: أنفقت في كذا كذا ثم جاء به إلى عمر (. فلما رآه أعجبه. قال: من كتب لك هذا؟ قال: كاتب لي. قال: فادعه حتى يقرأ كتبا جاءتنا من الشام. فقال: يا أمير المؤمنين لا يدخل المسجد. فقال: لم أجنب هو؟ قال: لا ولكنه نصراني. قال: فضرب عمر فخذي ضربة كاد يكسرها، ثم قال: أما سمعت الله تعالى يقول: يا أيها الذين آمنوا لا تتخذوا اليهود والنصارى أولياء بعضهم أولياء بعض. أفلا اتخذت كاتبا حنيفا يكتب لك؟ قال يا أمير المؤمنين، مالي وله، له دينه ولي كتابته. فقال عمر ( لا نأمنهم إذ خونهم الله ولا نكرمهم إذ أهانهم الله ولا ندنيهم إذ أقصاهم الله. ويروى أن خالد بن الوليد كتب إلى عمر بن الخطاب أن بالشام كاتبا لا يصلح خراج الشام إلا به. فكتب إليه: لا تستعمله. فراجعه وأخبر أنه لا يستغني عنه. فكتب إليه ينهاه عن استعماله. فعاوده وذكر أن المال يضيع إذا لم نستعمله، فكتب إليه عمر: مات النصراني والسلام. يريد بذلك أنه لو مات لكنت تستغني عنه، فقدر موته. … وكتب عمر بن عبد العزيز إلى عماله: ألا تولوا على أعمالنا إلا أهل القرآن. فكتبوا إليه: إنا وجدنا فيهم خيانة. فكتب إليهم: إن لم يكن في أهل القرآن خير فأجدر ألا يكون في غيرهم خير. الاستعانة بأهل الذمة في القتال. وعن ابن عباس أن النبي ( استعان بيهود بني قينقاع ورضخ لهم واستعان بصفوان بن أمية في قتال هوزان يوم حنين أخرجه الحازمي. فإن صح هذا فيكون تألفا لقلب من علم منه حسن رأي في الإسلام وليس في قتالهم معه ( نوع ولاية ولا استئمان لهم، بخلاف استكتابهم لا يجوز لما فيه من استئمانهم وقد خونهم الله. موقف الأئمة منه. قال الشافعي وآخرون: إن كان الكافر حسن الرأي بالمسلمين ودعت حاجة إلى الإستعانة به استعين به وإلا فيكره، وحمل الحديثين على هذين الحالتين. وقال مالك وأحمد وداود الظاهري: لا يستعان بهم ولا يعانون على الإطلاق، واستثنى مالك فقال: إلا أن يكونوا خدما للمسلمين، فيجوز. وقال أبو حنيفة (: يستعان بهم ويعاونون على الإطلاق. والشافعي إنما يجوز الاستعانة بهم في الحرب إذا أمنت خيانتهم ويكونون بحيث لو انضمت فرقتا الكفر لقدر المسلمون على مقاومة الفرقتين. وبهذا يظهر لك تحريم استعمالهم على بيت المال، لأن خيانتهم فيه لا تؤمن وهي ولاية يشترط فيها الأمانة، والله تعالى قد شهد عليهم بالخيانة، فكيف يجوز استعمالهم عمالا على بيوت الله تعالى واستئمانهم عليها؟ وهل ذلك إلا بمثابة من دفع السيف إلى قاتله وأجهز على نفسه وأعان العدو على هلاكه؟

تفسير البغوي – (ج 2 / ص 238)
قوله تعالى: إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا. نزلت في عثمان بن طلحة الحجبي من بني عبد الدار، وكان سادِنَ الكعبة، فلما دخل النبي ( مكة يوم الفتح أغلق عثمانُ باب البيت وصَعَدَ السطح، فطلب رسول الله ( المفتاحَ. فقي: إنه مع عثمان. فطلبه منه رسول الله ( فأبى، وقال: لو علمتُ أنه رسول الله لم أمنعه المفتاح، فَلَوَى عليُّ ( يَدَهُ، فأخذ منه المفتاحَ وفتح البابَ. فدخل رسول الله ( البيتَ وصلى فيه ركعتين، فلمّا خرج سأله العباس المفتاح، أن يعطيه ويجمع له بين السِّقاية والسِّدانة. فأنزل الله تعالى هذه الآية، فأمر رسول الله ( أن يرَّد المفتاحَ إلى عثمان ويعتذرَ إليه. ففعل ذلك علي (. فقال له عثمان: أكرهت وآذيت ثم جئت ترفق، فقال علي: لقد أنزل الله تعالى في شأنك قرآنأ وقرأ عليه الآية. فقال عثمان: أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدًا رسول الله، وكان المفتاح معه. فلمّا مات دفعه إلى أخيه شيبة، فالمفتاح والسدانة في أولادهم إلى يوم القيامة.

قرة العين بفتاوى الشيخ إسماعيل الزين، ص 199
إِنَّ بِلَادَكُمُ اسْتَقَلَّتْ وَالْحَمْدُ لِلهِ وَلَكِنْ لَا يَزَالُ فِيْهَا الْكَثِيْرُ مِنَ الْكُفَّارِ وَأَكْثَرُ أَهْلِهَا مُسْلِمُوْنَ وَلَكِنِ الْحُكُوْمَةُ اعْتَبَرَتْ جَمِيْعَ أَهْلِهَا مُسْلِمُهُمْ وَكَافِرُهُمْ عَلَى السَّوَاءِ وَقُلْتُمْ إِنَّ شُرُوْطَ الذِّمَّةِ الْمُعْتَبَرَةِ أَكْثَرُهَا مَفْقُوْدَةٌ مِنَ الْكَافِرِيْنَ، فَهَلْ يُعْتَبَرُ ذِمِّيِّيْنَ أَوْ حَرْبِيِّيْنَ؟ وَهَلْ لَنَا نَتَعَرَّضُ لِإِيْذَائِهِمْ أَذًى ظَاهِرًا إِلَى أَخِرِ السُّؤَالِ؟ فَاعْلَمْ أَنَّ الْكُفَّارَ الْمَوْجُوْدِيْنَ فِيْ بِلَادِكُمْ وَفِيْ بِلَادِ غَيْرِكُمْ مِنْ أَقْطَارِ الْمُسْلِمِيْنَ كاَلْبَاكِسْتَانِ وَالْهِنْدِ وَالشَّامِ وَالْعِرَاقِ وَالسُّوْدَانِ وَالْمَغْرِبِ وَغَيْرِهَا لَيْسُوْا ذِمِّيِّيْنَ وَلَا مُعَاهَدِيْنَ وَلَا مُسْتَأْمَنِيْنَ بَلْ حَرْبِيُّوْنَ حِرَابَةً مَحْضَةً … لَكِنِ التَّصَدَّى لِإِيْذَائِهِمْ أَذًى ظَاهِرًا كَمَا ذَكَرْتُمْ فِي السُّؤَالِ يُنْظَرُ فِيْهِ إِلَى قَاعِدَةِ جَلْبِ الْمَصَالِحِ وَدَرْءِ الْمَفَاسِدِ وَيُرجَّحُ دَرْءُ الْمَفَاسِدِ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ وَلَاسِيَّمَا وَأَحَادُ النَّاسِ وَأَفْرَادُهُمْ لَيْسَ فِيْ مُسْتَطَاعِهِمْ ذَلِكَ كَمَا هُوَ الْوَاقِعُ وَالْمُشَاهَدُ اهـ

مفاتيح الغيب (ج 8 / ص 10-11)
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ. (آل عمران: 28)
… واعلم أن كون المؤمن مواليًا للكافر يحتمل ثلاثة أوجه. أحدها: أن يكون راضيًا بكفره ويتولاه لأجله، وهذا ممنوع منه لأن كل من فعل ذلك كان مصوِّبًا له في ذلك الدين وتصويب الكفر كفر والرضا بالكفر كفر، فيستحيل أن يبقى مؤمنًا مع كونه بهذه الصفة. فإن قيل أليس أنه تعالى قال: وَمَن يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيء؟ وهذا لا يوجب الكفر فلا يكون داخلًا تحت هذه الآية. لأنه تعالى قال: ذَلِكَ بِأَنَّ الَّذِينَ كَفَرُواْ، فلا بد وأن يكون خطابًا في شيء يبقى المؤمن معه مؤمناً. وثانيها: المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع منه. والقسم الثالث: وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة والمظاهرة والنصرة إما بسبب القرابة أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه، وذلك يخرجه عن الإسلام. فلا جرم هدد الله تعالى فيه. فقال: وَمَن يَفْعَلْ ذلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيءٍ. فإن قيل: لم لا يجوز أن يكون المراد من الآية النهي عن اتخاذ الكافرين أولياء بمعنى أن يتولوهم دون المؤمنين؟ فأما إذا تولوهم وتولوا المؤمنين معهم فذلك ليس بمنهي عنه. وأيضًا فقوله لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاء، فيه زيادة مزية لأن الرجل قد يوالي غيره ولا يتخذه مواليًا، فالنهي عن اتخاذه مواليًا لا يوجب النهي عن أصل مولاته. قلنا: هذان الاحتمالان وإن قاما في الآية إلا أن سائر الآيات الدالة على أنه لا تجوز موالاتهم دلّت على سقوط هذين الاحتمالين.

حاشية البجيرمي على الخطيب (ج 5 / ص 183)
خَاتِمَةٌ. تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهِ وَرَسُولَهُ. فَإِنْ قِيلَ: قَدْ مَرَّ فِي بَابِ الْوَلِيمَةِ أَنَّ مُخَالَطَةَ الْكُفَّارِ مَكْرُوهَةٌ أُجِيبُ بِأَنَّ الْمُخَالَطَةَ تَرْجِعُ إلَى الظَّاهِرِ وَالْمَوَدَّةَ إلَى الْمَيْلِ الْقَلْبِيِّ. فَإِنْ قِيلَ: الْمَيْلُ الْقَلْبِيُّ لَا اخْتِيَارَ لِلشَّخْصِ فِيهِ. أُجِيبَ: بِإِمْكَانِ دَفْعِهِ بِقَطْعِ أَسْبَابِ الْمَوَدَّةِ الَّتِي يَنْشَأُ عَنْهَا مَيْلُ الْقَلْبِ، كَمَا قِيلَ: إنَّ الْإِسَاءَةَ تَقْطَعُ عُرُوقَ الْمَحَبَّةِ.

قَوْلُهُ: تَحْرُمُ مَوَدَّةُ الْكَافِرِ، أَيْ الْمَحَبَّةُ وَالْمَيْلُ بِالْقَلْبِ. وَأَمَّا الْمُخَالَطَةُ الظَّاهِرِيَّةُ فَمَكْرُوهَةٌ. وَعِبَارَةُ شَرْحِ م ر: وَتَحْرُمُ مُوَادَّتُهُمْ وَهُوَ الْمَيْلُ الْقَلْبِيُّ لَا مِنْ حَيْثُ الْكُفْرُ، وَإِلَّا كَانَتْ كُفْرًا. وَسَوَاءٌ فِي ذَلِكَ أَكَانَتْ لِأَصْلٍ أَوْ فَرْعٍ أَمْ غَيْرِهِمَا. وَتُكْرَهُ مُخَالَطَتُهُ ظَاهِرًا وَلَوْ بِمُهَادَاةٍ فِيمَا يَظْهَرُ مَا لَمْ يُرْجَ إسْلَامُهُ. وَيَلْحَقُ بِهِ مَا لَوْ كَانَ بَيْنَهُمَا نَحْوُ رَحِمٍ أَوْ جِوَارٍ اهـ وَقَوْلُهُ: مَا لَمْ يَرْجُ إسْلَامَهُ، أَوْ يَرْجُ مِنْهُ نَفْعًا أَوْ دَفْعَ شَرٍّ لَا يَقُومُ غَيْرُهُ فِيهِ مَقَامَهُ، كَأَنْ فَوَّضَ إلَيْهِ عَمَلًا يَعْلَمُ أَنَّهُ يَنْصَحُهُ فِيهِ وَيَخْلُصُ أَوْ قَصَدَ بِذَلِكَ دَفْعَ ضَرَرٍ عَنْهُ. وَأُلْحِقَ بِالْكَافِرِ فِيمَا مَرَّ مِنَ الْحُرْمَةِ وَالْكَرَاهَةِ الْفَاسِقُ. وَيُتَّجَهُ حَمْلُ الْحُرْمَةِ عَلَى مَيْلٍ مَعَ إينَاسٍ لَهُ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ: يَحْرُمُ الْجُلُوسُ مَعَ الْفُسَّاقِ إينَاسًا لَهُمْ. أَمَّا مُعَاشَرَتُهُمْ لِدَفْعِ ضَرَرٍ يَحْصُلُ مِنْهُمْ أَوْ جَلْبِ نَفْعٍ فَلَا حُرْمَةَ فِيهِ ا هـ ع ش عَلَى م ر. قَوْلُهُ: الْمَيْلِ الْقَلْبِيِّ، ظَاهِرُهُ أَنَّ الْمَيْلَ إلَيْهِ بِالْقَلْبِ حَرَامٌ وَإِنْ كَانَ سَبَبُهُ مَا يَصِلُ إلَيْهِ مِنْ الْإِحْسَانِ أَوْ دَفْعَ مَضَرَّةٍ. وَيَنْبَغِي تَقْيِيدُ ذَلِكَ بِمَا إذَا طَلَبَ حُصُولَ الْمَيْلِ بِالِاسْتِرْسَالِ فِي أَسْبَابِ الْمَحَبَّةِ إلَى حُصُولِهَا بِقَلْبِهِ، وَإِلَّا فَالْأُمُورُ الضَّرُورِيَّةُ لَا تَدْخُلُ تَحْتَ حَدِّ التَّكْلِيفِ وَبِتَقْدِيرِ حُصُولِهَا. يَنْبَغِي السَّعْيُ فِي دَفْعِهَا مَا أَمْكَنَ. فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ دَفْعُهَا لَمْ يُؤَاخَذْ بِهَا ع ش عَلَى م ر. قَوْلُهُ: الْإِسَاءَةَ إلَخْ، أَيْ وَالْإِحْسَانُ الَّذِي مِنْهُ الْمَوَدَّةُ يَجْلُبُ الْمَحَبَّةَ .

حاشية قليوبي، (ج 4 / ص 235)
(قوله: ولا يوقر ولا يصدر في مجلس في مسلم) ولو واحدا ولو طارئا وجوبا. فيحرم ذلك إلا لضرورة. ويحرم الميل إليهم بالقلب من حيث الكفر. ويكره لغيره. وتكره مهاداتهم إلا لنحو رحم أو رجاء إسلام أو جوار.

التبر المسبوك في نصيحة الملوك للغزالي (ج 1 / ص 16-17)
إعلم وتيقّن أن الله سبحانه وتعالى اختار من بني آدم طائفتين وهم الأنبياء عليهم الصلاة والسلام ليبينوا للعباد على عبادته الدليل، ويوضحوا لهم إلى معرفته السبيل، واختار الملوك لفظ العباد من اعتداء بعضهم على بعض، وملكهم أزمة الإبرام والنقض، فربط بهم مصالح خلقه في معايشهم بحكمته، وأحَلّهم أشرف محل بقدرته، كما يسمع في الأخبار السلطان ظل الله في أرضه … والسلطان العادل من عدل بين العباد، وحذر من الجور والفساد، والسلطان الظالم شؤم لا يبقى ملكه ولا يدوم، لأن النبي صلى الله عليه وسلم يقول: (الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم) . وفي التواريخ أن المجوس ملكوا العالم أربعة آلاف سنة وكانت المملكة فيهم وإنما دامت المملكة بعدلهم في الرعية، وحفظهم بالسوية، وإنهم ما كانوا يرون الظلم والجور في دينهم وملتهم جائز وعمروا بعدلهم البلاد، وأنصفوا العباد. وقد جاء في الخبر أن الله جلّ ذكره أوحى إلى داود عليه السلام أن آنْهِ قومك عن سب ملوك العجم فإنهم عمروا الدنيا وأوطنوها عبادي. فينبغي أن تعلم أن عمارة الدنيا وخرابها من الملوك فإذا كان السلطان عادلاً عمرت الدنيا وأمنت الرعايا كما كانت عليه في عهد أزدشير وأفريدون وبهرام كور وكسرى أنو شروان. وإذا كان السلطان جائراً خربت الدنيا كما كانت في عهد الضحاك وافراسيان وبرزدكنها الخاطىء وأمثال هؤلاء … وكان الملك في ذلك الزمان كسرى أنو شروان. وهو الذي فاق ملوك إيران، بعدله ونصفته، وتدبيره وسياسته، وذلك جميعه ببركات نبينا محمد صلى الله عليه وسلم، لأنه ولد في زمانه، ووجد في أوانه. وعاش أنو شروان بعد مولده صلى الله عليه وسلم سنتين، والنبي صلى الله عليه وسلم افتخر بأيامه فقال: ولدت في زمن الملك العادل كسرى. والإسم الجيد خير الأشياء. والملوك الذين كانوا قبله كانت همتهم في عمارة الدنيا والعدل بين الرعية وحفظ الجسم بالسياسة وحسن الإنالة وآثار عمارتهم التي أثروها إلى اليوم ظاهرة في العالم وكل بلد يعرف بإسم ملكه لأنهم عمروا المواضع، وبنوا الضياع والمزارع، واستخرجوا القنوات والمصانع واظهروا ما كان خافياً من مياه العيون وجميع ما ذكرناه كان أنو شروان يعمره بعدله وإنصافه، مع تجنبه الإسراف في عفافه.

واعلم: أن أولئك الملوك القدماء همتهم واجتهادهم في عمارة ولاياتهم بعدهم. روي أنه كلما كانت الولاية أعمر، كانت الرعية أوفى وأشكر. وكانوا يعلمون أن الذي قالته العلماء، ونطقت به الحكماء، صحيح لا ريب فيه وهو قولهم: إن الدين بالملك، والملك بالجند، والجند بالمال والمال بعمارة البلاد، وعمارة البلاد بالعدل في العباد. فما كانوا يوافقون أحداً على الجور والظلم، ولا يرضون لحشمهم بالخرق والغشم، علماً منهم أن الرعية لا تثبت على الجور وأن الأماكن تخرب إذا استولى عليها الظالمون، ويتفرق أهل الولايات ويهربون في ولايات غيرها ويقع النقص في الملك ويقل في البلاد الدخل وتخلو الخزائن من الأموال ويتكدر عيش الرعايا لأنهم لا يحبون جائراً، ولا يزال دعاؤهم عليه متواتراً، فلا يتمتع بمملكته، وتسرع إليه دواعي هلكته …
نكتة: الدين والملك توأمان مثل أخوين ولدا من بطن واحد فيجب أن يهتم ويجتنب الهوى، والبدعة والمنكر والشبهة وكل ما يرجع بنقصان الشرع وإن علم أن في ولايته من يتهم بدينه ومذهبه أمر بإحضاره وتهديده، وزجره ووعيده، فإن تاب، وإلا أوقع عليه العقاب، ونفاه عن ولايته ليطهر الولاية من إغوائه وبدعته، وتخلو من أهل الأهواء.

مفاتيح الغيب – (ج 18 / ص 61)
وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ وَأَهْلُهَا مُصْلِحُونَ. (هود: 117).
اعلم أنه تعالى بين أنه ما أهلك أهل القرى إلا بظلم وفيه وجوه. الوجه الأول: أن المراد من الظلم ههنا الشرك. قال تعالى: إِنَّ الشّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان: 13). والمعنى أنه تعالى لا يهلك أهل القرى بمجرد كونهم مشركين إذا كانوا مصلحين في المعاملات فيما بينهم. والحاصل أن عذاب الاستئصال لا ينزل لأجل كون القوم معتقدين للشرك والكفر بل إنما ينزل ذلك العذاب إذا أساؤا في المعاملات وسعوا في الإيذاء والظلم ولهذا قال الفقهاء إن حقوق الله تعالى مبناها على المسامحة والمساهلة وحقوق العباد مبناها على الضيق والشح ويقال في الأثر الملك يبقى مع الكفر ولا يبقى مع الظلم فمعنى الآية وَمَا كَانَ رَبُّكَ لِيُهْلِكَ الْقُرَى بِظُلْمٍ أي لا يهلكهم بمجرد شركهم إذا كانوا مصلحين يعامل بعضهم بعضاً على الصلاح والسداد وهذا تأويل أهل السنة لهذه الآية. قالوا: والدليل عليه، أن قوم نوح وهود وصالح ولوط وشعيب إنما نزل عليهم عذاب الاستئصال لما حكى الله تعالى عنهم من إيذاء الناس وظلم الخلق.

سراج الملوك للطرطوشي المالكي(1) (ج 1 / ص 41-43)
العدل ينقسم قسمين: قسم إلهي جاءت به الأنبياء والرسل عليهم السلام عن الله تعالى، والثاني ما يشبه العدل والسياسة الإصلاحية التي هرم عليها الكبير ونشأ عليها الصغير، وبعيد أن يبقى سلطان أو تستقيم رعيته في حال إيمان أو كفر بلا عدل قائم ولا ترتيب للأمور ثابت، فذلك مما لا يمكن ولا يجوز. وقد ذكرنا في أول الكتاب أن سليمان بن داود سلب ملكه حين جلي الخصمان بين يديه، وكان لأحدهما خاصة بسليمان فقال في نفسه: وددت أن يكون الحق لخاصتي فأقضي له، فسلبه الله تعالى ملكه وقعد الشيطان على كرسيه. فاجعل العدل سياستك تسقط عنك جميع الآفات المفسدة للسياسة، وتقوم لك جميع الشرائط التي تقوم بها للمملكة. قال علي بن أبي طالب رضي الله عنه: إمام عادل خير من مطر وابل، وأسد حطوم خير من سلطان ظلوم، وسلطان ظلوم خير من فتنة تدوم. … وأما العدل النبوي فأن يجمع السلطان إلى نفسه حملة العلم الذين هم حفاظه ورعاته وفقهاؤه، وهم الأدلاء على الله والقائمون بأمر الله، والحافظون لحدود الله والناصحون لعباد الله. وروى أبو هريرة رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إن الدين النصيحة! إن الدين النصيحة! إن الدين النصيحة! قالوا: لمن يا رسول الله؟ قال: لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم. … وأما القسم الثاني من العدل وهو السياسة الاصطلاحية، وإن كان أصلها على الجور فيقوم بها أمر الدنيا، وكأنها تشاكل مراتب الإنصاف على نحو ما كانت عليه ملوك الطوائف في أيام الفرس. وكانوا كفاراً بالله تعالى يعبدون النيران ويتبعون هواجس الشيطان، فتواضعوا بينهم سنناً وأسسوا لهم أحكاماً، وأقاموا لهم مراتب في النصفة بين الرعايا واستجباء الخراجات، وتوظيف المكوس على التجار. كل ذلك بعقولهم على وجوه ما أنزل الله بها من سلطان ولا نصب عليها من برهان. بيد أنه لما جاءت الشريعة من عند الله تعالى على لسان نبيه صاحب المعجزة محمد (، فمنها ما أقرته في نصابه، ومنها نسخته وأبطلت حكمه. فعادت الحكمة البالغة أمر الله تعالى والحكم بما أنزل الله وبطل ما سواه. وكان ملكهم محفوظاً برعايتهم للقوانين المألوفة بينهم، فانقطع بذلك حبل الهمل، فكانوا يقيمون بها واجب الحقوق ويتعاطون بها ما لهم وعليهم. وعن هذا كان يقال: إن السلطان الكافر الحافظ لشرائط السياسة الاصطلاحية أبقى وأقوى من السلطان المؤمن العدل في نفسه المضيع للسياسة النبوية العدلية، والجور المرتب أبقى من العدل المهمل. إذ لا شيء أصلح للسلطان من ترتيب الأمور ولا شيء أفسد له من إهمالها.

(1) الطرطوشي (451 – 520 ه = 1059 – 1126 م) محمد بن الوليد بن محمد بن خلف القرشى الفهرى الاندلسي، أبو بكر الطرطوشى، ويقال له ابن أبى رندقة: أديب، من فقهاء المالكية، الحفاظ.

*Jawaban 2*
Hukum memilih calon wakil rakyat non muslim (DPRD/DPR—yang memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan—, dan DPD—yang memiliki fungsi legislasi, pertimbangan dan pengawasan—) sama dengan hukum memilih pemimpin non muslim yaitu haram, karena termasuk memberi kuasa non muslim atas kaum muslimin dan pemilih tidak mampu mencegahnya dari mengkhianati kepentingan kaum muslimin.

*Referensi :*

حسن السلوك الحافظ دولة الملوك لمحمد بن محمد بن عبد الكريم الموصلي الشافعي (ص 161)
الفصل الثالث عشر عدم تولية اليهود والنصارى على المسلمين. لا يجوز تولية اليهود والنصارى على المسلمين ولا استكتابهم على بيت مال المسلمين. … والشافعي إنما يجوز الاستعانة بهم في الحرب إذا أمنت خيانتهم ويكونون بحيث لو انضمت فرقتا الكفر لقدر المسلمون على مقاومة الفرقتين. وبهذا يظهر لك تحريم استعمالهم على بيت المال، لأن خيانتهم فيه لا تؤمن وهي ولاية يشترط فيها الأمانة، والله تعالى قد شهد عليهم بالخيانة، فكيف يجوز استعمالهم عمالا على بيوت الله تعالى واستئمانهم عليها؟ وهل ذلك إلا بمثابة من دفع السيف إلى قاتله وأجهز على نفسه وأعان العدو على هلاكه؟

حواشي الشرواني (ج 9 / ص 72-73)
وَقَالَ ع ش بَعْدَ نَقْلِ مَا ذُكِرَ عَنْ الزِّيَادِيِّ: أَقُولُ وَكَذَا يَحْرُمُ نَصْبُهُ فِي شَيْءٍ مِنْ أُمُورِ الْمُسْلِمِينَ. نَعَمْ، إِنْ اقْتَضَتِ الْمَصْلَحَةُ تَوْلِيَتَهُ فِي شَيْءٍ لَا يَقُومُ بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الْمُسْلِمِينَ أَوْ ظَهَرَ فِيمَنْ يَقُومُ بِهِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ خِيَانَةٌ وَأُمِنَتْ فِي ذِمِّيٍّ وَلَوْ لِخَوْفِهِ مِنِ الْحَاكِمِ مَثَلًا، فَلَا يَبْعُدُ جَوَازُ تَوْلِيَتِهِ فِيهِ لِضَرُورَةِ الْقِيَامِ بِمَصْلَحَةِ مَا وُلِّيَ فِيهِ. وَمَعَ ذَلِكَ يَجِبُ عَلَى مَنْ يُنَصِّبُهُ مُرَاقَبَتُهُ وَمَنْعُهُ مِنَ التَّعَرُّضِ لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بِمَا فِيهِ اسْتِعْلَاءٌ عَلَى الْمُسْلِمِينَ اهـ .

الفقه الإسلامي وأدلته (ج 8 / ص 342)
الفرق بين الوزارتين: ذكر الماوردي فروقا ثمانية بين الوزارتين، أربعة منها تتعلق بالشروط، والأربعة الأخرى بالصلاحيات. أما الفروق العائدة للشروط والمؤهلات فهي: 1 – الحرية: مطلوبة في وزارة التفويض، وغير مطلوبة في وزارة التنفيذ. 2 – الإسلام: مطلوب في وزارة التفويض، دون التنفيذ. 3 – العلم بالأحكام الشرعية (الاجتهاد): مطلوب في وزارة التفويض لا التنفيذ. 4 – المعرفة بشؤون الحرب والاقتصاد كالخراج: مطلوبة في وزارة التفويض لا التنفيذ.

 

*Jawaban 3*
Orang Islam tidak dibenarkan (haram) menjadi tim sukses calon pemimpin/wakil rakyat non muslim, sebab termasuk menolong kemungkaran dan menjalin hubungan sosial dengan non muslim yang diharamkan.

*Referensi :*

الجامع لأحكام القرآن (ج 6 / ص 46)
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ

اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ (المائدة: 2)
الثالثة عشرة قوله تعالى: وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى. قال الأخفش: هو مقطوع من أول الكلام، وهو أمر لجميع الخلق بالتعاون على البر والتقوى؛ أي ليعن بعضكم بعضا ، وتحاثوا على ما أمر الله تعالى وأعملوا به، وانتهوا عما نهى الله عنه وامتنعوا منه … ويجب الإعراض عن المتعدي وترك النصرة له ورده عما هو عليه.

مفاتيح الغيب (ج 8 / ص 10-11)
واعلم أن كون المؤمن مواليًا للكافر يحتمل ثلاثة أوجه. أحدها: أن يكون راضيًا بكفره ويتولاه لأجله، وهذا ممنوع منه … وثانيها: المعاشرة الجميلة في الدنيا بحسب الظاهر وذلك غير ممنوع منه. والقسم الثالث: وهو كالمتوسط بين القسمين الأولين هو أن موالاة الكفار بمعنى الركون إليهم والمعونة والمظاهرة والنصرة إما بسبب القرابة أو بسبب المحبة مع اعتقاد أن دينه باطل فهذا لا يوجب الكفر إلا أنه منهي عنه، لأن الموالاة بهذا المعنى قد تجره إلى استحسان طريقته والرضا بدينه

About Muhammad Taqiyyuddin Alawiy

- PENGASUH PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI'IYAH NURUL HUDA MERGOSONO KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG - Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang
This entry was posted in Bahtsul Masail Diniyah and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a Reply