الحَمْدُ لِلهِ الَّذِيْ جَعَلَ التّقْوَى خَيْرَ الزَّادِ وَاللِّبَاسِ وَأَمَرَنَا أَنْ تَزَوَّدَ بِهَا لِيوْم الحِسَاب اَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لَاشَرِيْكَ لَهُ رَبُّ النَّاسِ وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا حَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ المَوْصُوْفُ بِأَكْمَلِ صِفَاتِ الأَشْخَاصِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ كَانَ صَادِقَ الْوَعْدِ وَكَانَ رَسُوْلاً نَبِيًّا، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أجمعين وسَلّمْ تَسليمًا كَثِيرًا ، أَمَّا بَعْدُ ، فَيَا أَيُّهَا الْحَاضِرُوْنَ رَحِمَكُمُ اللهُ، اُوْصِيْنِيْ نَفْسِىْ وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ
قَالَ اللهُ تَعَالَى : بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ، يَا اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَاَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Jamaah shalat Jum’at a‘zâkumullâh,
Dalam kehidupan sehari-hari, tanpa kita sadari kita sering menampakkan sikap membeda-bedakan orang satu dengan orang lainnya berdasarkan kriteria yang tidak masuk di akal. Orang kerap menaruh perasaan hormat lebih tinggi kepada orang kaya dibanding kepada mereka yang miskin. Sikap ramah orang juga sering berbeda antara kepada pejabat pemerintahan dan sopir angkot, misalnya. Di zaman modern kini, bahkan kita masih menemukan sejumlah suku atau etnis tertentu merasa lebih unggul dari lainnya, sekelompok keturunan tertentu lebih mulia ketimbang lainnya, golongan laki-laki lebih terhormat dibanding perempuan atau sebaliknya, dan seterusnya.
Islam yang hadir di tengah kentalnya sukuisme dan diskriminasi di masa Arab jahiliyah menafikan model sikap yang demikian. Ia memberi kriteria objektif sebagai standar derajat kemuliaan seseorang, yaitu taqwâ. Islam tidak melihat sebagai jumlah harta, kedudukan, jenis kelamin, latar belakang pendidikan, jenis profesi, suku, bangsa, atau status sosial lainnya sebagai ukuran penilaian. Siapa pun itu, bila mampu meraih ketakwaan maksimal maka ia pantas menduduki singgasana kemuliaan di sisi Allah, terlebih manusia.
Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13 berpesan:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Pertanyaannya adalah apakah taqwa itu? Kata yang sering terucap dan menghiasi mimbar khutbah tiap Jum’at ini kerap kali diterima mentah begitu saja. Tetang apa makna dan pemahaman di dalamnya sering tidak tersentuh secara mendalam. Sebagian orang memberi makna taqwa dengan pengertian “takut kepada Allah”, sebagian lain “menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya”. Kedua pemaknaan yang berulang kali kita dengar ini tidak keliru, meski tak sepenuhnya mewakili makna yang lebih mendalam darinya.
Taqwa sejatinya bermakna kesadaran penuh akan kehadiran Allah subhânahu wata‘âlâ dan berusaha keras menyesuaikan diri dengan tata nilai rabbâniyah (Ketuhanan). Kata “kesadaran” terasa lebih merasuk. Ia mengandaikan adanya gerak batin, penjiwaan, dan keinsafan bahwa Allah meliputi diri-Nya. Puncak kesadaran tersebut bisa dicapai di antaranya dengan merenungkan dari mana kita berasal dan akan kemana kita kelak dalam kehidupan ini. Allah diimani sebagai sebab keberadaan segala sesuatu, Dia lah pula terminal paling akhir dari segala maksud yang kita jalani dalam kehidupan ini.
Jamaah shalat Jum’at a‘zâkumullâh,
Keharusan untuk menyesuaikan diri dalam kesadaran kehadiran Tuhan membuat orang beriman memiliki komitmen moral yang tinggi yang berwujud ‘amal shâlih (kebajikan). Dengan demikian, taqwa meskipun menyangkut hubungan dengan Allah tetapi ia punya efek dalam perilaku manusia sehari-hari. Jika orang bertaqwa (muttaqîn) kepada Allah dengan sungguh-sungguh maka ia akan menampakkan sikap yang berperikemanusiaan. Ia juga tetap akan berlau adil meski kepada orang yang dibencinya. Taqwa yang sungguh-sungguh menjaganya dari berbuat serakah dan mubazir. Muttaqîn adalah orang-orang yang pandai bersyukur, penyabar kala musibah menimpa, konsisten menepati janji, dan berperangai ramah kepada siapa saja. Karena cinta kepada Allah, orang-orang yang bertaqwa juga cinta kepada alam lingkungannya, membantu kaum miskin, menolong orang sakit, dan orang-orang yang membutuhkan lainnya.
Dengan demikian, ‘amal shâlih adalah konsekuensi wajib bagi orang yang bertaqwa, orang yang memiliki kesadaran akan kehadiran Allah. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Amal kebaikan baik kepada alam sekitar maupun kepada orang lain dalam keseharian menjadi bukti bahwa taqwa tak hanya menempel di ucapan dan pikiran, tapi juga membatin dalam hari dan jiwa seseorang. Semoga kita semua selalu mendapatkan hidayah Allah agar dapat menemukan dan mengimplementasikan kesejatian taqwa sehingga termasuk orang-orang yang memperoleh kebahagiaan hakiki. Âmîn ya rabbal ‘âlamîn.
