Bahaya yang Disebabkan Budaya Mendebat Dan Banyak Bertanya

الحمد لله الذى جعل الدنيا مَزْرَعَةَ الآخرة فامر عبـادَه باِكْـثَار الصّالحاتِ واْلإنْـتِهاءِ عن المـعاصِى و الـسَّيِّئآت الشَّـئِيْمَة. اشهـدان لااله الا الله وحده لا شريك له واشهـد انّ سـيِّدنا محمدا عبده ورسوله حَثَّ اُمَّـتَه بِالمُبـادرة الى الصَّالحات وَالمحافـظَةِ عليهـا قبل لُحُوْقِ الْمَـنِـيَّة. اللهم فصلّ وسلِّم على سيدنا محمد ذى السِّـمَاتِ الرَّفِيْعَةِ و الدَّرَجات العليَّـة وعلى آله وصحبه الْمُـتَحَلِّيْنَ بالاَخلاقِ الْكَريمة . اما بعد فيا عباد الله اتقوا الله تعالى واسْتَعِدُّوا للموت باِكثار الصالحات مادامتِ الحياة.
عن أبى هريرة رضي عنه عن النـبي صلى الله عليه وسلم دَعُوني ما تَركتُكم إنما هَلَكَ من كان قَبْلَكم بِسُؤَالِهم وَاخْـتِلافِهم على أنبِـيائهم فَإذَا نَـهَيْتُـكم عن شيئ فاجْـتَـنِبُوهُ وإذَا أمَرتُـكم بِأمر فَأْتـُوا منه ما استَطعتم (رواه البخارى و مسلم)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu, dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, ia berkata, “Hentikanlah (menanyai)ku tentang apa yang aku abaikan untuk kalian. Sesungguhnya umat yang sebelum kalian telah binasa hanya disebabkan mereka banyak bertanya dan mendebat para nabi mereka. Jika aku melarang kalian tentang sesuatu maka jauhilah, dan jika aku memerintahkan kalian terhadap sesuatu maka lakukanlah semampu kalian.” (Diriwayatkan Al-Bukhary dan Muslim).

يا معاشر المؤمنين رحمكم الله

Turunnya hadits yang saya bacakan tadi ada sebabnya. Diriwayatkan bahwa Rasulullah tengah berkhutbah di hadapan umat manusia, seraya berkata, “Wahai manusia sekalian, Allah telah mewajibkan atas kalian haji maka lakukanlah.” Kemudian ada orang yang bertanya, “Apakah setiap tahun, wahai Rasulullah?” Rasulullah tidak menjawab sehingga orang itu meng-ulang pertanyaan itu hingga tiga kali. Kemudian berkata, “Seandainya aku katakan ya, tentu itu wajib hukumnya. Tapi semampumu”, selanjutnya beliau menyebutkan hadits yang telah saya baca tadi .

يا معاشر المؤمنين رحمكم الله

Di sini Rasulullah mengajarkan kepada kaum Muslimin untuk efisien dalam bertanya sehingga hanya yang penting-penting saja, dan tidak memburu dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak berguna, ditakutkan nanti akan keluar jawaban tentang perintah yang memberatkan, yang akibatnya tidak malah menaati perintah itu, tapi malah berbuat menyimpang dan dur-haka yang dapat mendatangkan siksa. Hal ini bisa terjadi bila posisinya dalam bertanya itu tidak dalam posisi karena ketidaktahuan atau memang menginginkan adanya arahan yang dalam hal ini pertanyaan adalah tindakan yang sangat terpuji dan diam adalah tercela. Namun pertanyaan yang berlebihan dapat membuat orang seperti Bani Israil yang ketika itu diperintahkan untuk menyembelih seekor sapi. Bila saja mereka langsung menyembelih seekor sapi apa pun spesifikasinya tentulah mereka telah menaati perintah. Akan tetapi mereka mempersulit diri mereka sendiri sehingga Allah pun akan mempersulit mereka.

Kemudian Nabi memberikan petunjuk bahvva mereka harus berhenti pada batas-batas larangan yang telah dijelaskan oleh Rasulullah dan menjauhi hal-hal yang bila dikerjakan akan membahayakan mereka. Karena itu tidak pantas bagi mereka untuk nekad melakukan sedikit pun dari bahaya itu. Sebagian ulama mendasarkan alasan mereka pada keumuman larangan hadits ini bahwa hal-hal yang makruh atau pun keadaan darurat tidak dengan sendirinya membolehkan amalan yang dilarang itu. Misalnya, berobat dengan hal yang haram atau meredakan rasa dahaga yang mencekik dengan hal yang haram juga.

Syara” tidak membebani mereka kecuali apa yang memang mampu mereka lakukan. Artinya, mereka tidak dibebani untuk melakukan apa yang di atas batas kemampuan mereka dan yang mustahil mereka lakukan. Termasuk dalam pembebanan itu yakni banyaknya ketentuan-ketentuan hukum. Misalnya, shalat bagi yang tidak mampu melakukan salah satu rukun atau syarat sahnya maka dapat dilakukan sebatas kemampuannya. Begitu pula halnya dengan wudhu, menutup aurat dan menghafal sebagian dari surat Al-Fatihah.

يا معاشر المؤمنين رحمكم الله

Hadits tadi juga menjadi landasan alasan untuk mempelajari syara’ dengan lebih menitikberatkan pada hal-hal yang dilarang daripada yang diperintahkan, karena adanya kemutlakan untuk menjauhi hal-hal yang dilarang meski untuk meninggalkannya harus dengan susah payah. Sedangkan dalam hal-hal yang diperintahkan itu dikecualikan dengan sebatas ke-mampuan. Keharusan bahwa larangan itu menuntut adanya jarak dengan hal yang terlarang itu, masih dalam batas-batas kemampuan setiap individu dan bukan merupakan kesulitan yang berarti sehingga tidak pernah terbayang bagaimana bila nanti tidak dapat melakukannya. Hal mana berbeda dengan perintah, yang menuntut dilaksanakannya perintah itu, yang terkadang tidak semua perintah itu dapat dijalankan sesuai dengan petunjuk sebagaimana banyak terjadi dalam kasus-kasus ketidakmampuan umat manusia. Karena itulah akhirnya perintah itu dikecualikan dengan kemampuan. Hadits tadi juga menjadi landasan untuk menyimpulkan bahwa banyak melemparkan pertanyaan dan terlalu dalam memahami permasalahan yang hanya dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk memberatkan beban dirinya dan mempersulit keadaan, adalah tercela. Tapi akan lain masalahnya bila dasar yang melatarbelakanginya untuk proses belajar mengajar mengingat dalam proses itu ada keharusan untuk memahami masalah agama dan dunia sekaligus. Karena itu dasar yang melatarbelakanginya maka sah-sah saja, bahkan dianjurkan berdasarkan firman Allah, “Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kanut tidak mengetahui.”

Lebih lanjut banyak bertanya tentang hal-hal yang tidak bermakna hanyalah menyia-nyiakan waktu saja, menyibukkan diri dengan hal-hal yang sama sekali tidak ada gunanya, dan menyebabkan perdebatan dan permusuhan seputar hal-hal yang keji. Contohnya banyak menguraikan masalah-masalah yang tidak berdasar pada ketentuan Al-Kitab, sunnah dan bukan pula ijma1 sehingga waktu yang ia habiskan untuk mengurai masalah itu lebih baik ia gunakan untuk hal-hal lain yang lebih penting.

Contoh lain adalah pembahasan tentang hal-hal ghaib, mencoba mengembalikannya kepada ajaran syara’ dari sudut pandang iman terhadap keghaiban itu, namun mengabaikan pembahasan tentang hakikat keghaiban itu sendiri. Juga, tentang hal-hal yang tidak mempunyai dalil yang shahih tentang penetapannya. Misalnya, pertanyaan tentang hari Kiamat, tentang ruh, tentang masa hidup umat manusia, dan hal-hal lain yang hanya dapat diketahui lewat dalil naqli saja dan bila dipahami secara mendalam hanya akan semakin membingungkan dan menambah besar keraguan. Telah diriwayatkan bahwa Nabi berkata, “Umat manusia itu akan selalu bertanya-tanya sehingga nanti dikatakan ini Allah yang telah menciptakan semua makhluk, lalu siapa yang menciptakan Allah?”

Kesimpulannya: Maksud mencari dan bertanya yang tercela itu adalah terlalu berlebihan namun tidak membawa faidah. Juga, mengupas permasa¬lahan yang jarang sekali terjadi dan mengangkatnya kembali ke permukaan. Terlebih lagi bila yang menyampaikan itu hanya untuk mengangkat namanya saja dan melebih-lebihkan sesuatu di atas ukurannya. Termasuk juga menutup pintu pencarian dan diskusi sehingga banyak hukum yang tidak diketahui oleh manusia padahal mereka butuh itu dalam hidupnya.
Akan halnya dengan melihat dan membahas kitab Allah secara tajam dan melestarikan sunah-sunah yang datang dari Rasulullah dan para sahabat yang menyaksikan sendiri bagaimana proses turunnya sunah itu, memahaminya dan apa saja hal-hal yang menjadi titik perhatiannya. Yang demikian itu sangatlah terpuji, berguna dan sangat diharapkan. Itulah yang selama ini dilakukan ahli fikih dari golongan tabiin. Berbeda dengan yang dilakukan ahli fikih yang datang belakangan, banyak pertentangan-pertentangan dan unsur riya yang merebak di kalangan mereka, serta banyak pula unsur kemarahan yang dilahirkannya, padahal mereka adalah pemeluk satu agama yang sama. Mungkin benar sabda Nabi di akhir hadits bahwa “sesungguhnya umat yang sebelum kalian telah binasa hanya disebabkan mereka banyak bertanya dan mendebat para nabi mereka.”

اِنَّ أَحْسَنَ الْكَلاَمِ كَلامُ اللهِ الْمَلِكِ الْعَلّامِ. وَاللهُ يَقُوْلُ وَبِقَوْلِهِ يَهْتَدِي الْمُهْتَدُوْنَ. وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ. أعُوْذُ باللهِ مِنَ الشّيْطَانِ الرَّجِيْمِ. فَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْراً يَرَه. وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرّاً يَرَهُ. بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ. وَنَفَعَنِي وَاِيِّاكُمْ بما فيه مِنَ الآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. اِنّهُ تَعَالَى جَوَّادٌ كَرِيْمٌ رَحْمَانٌ رَحِيْمٌ

About Muhammad Taqiyyuddin Alawiy

- PENGASUH PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI'IYAH NURUL HUDA MERGOSONO KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG - Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang
This entry was posted in Kumpulan Khutbah. Bookmark the permalink.

Leave a Reply