WANITA, PERAN DAN TANGGUNG JAWABNYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Pengkajian yang seksama terhadap syariat Islam, akan memberikan kesimpulan bahwa Islam menetapkan beberapa tugas pokok bagi wanita.

Tugas Utama Wanita
Tugas utama (pokok) seorang wanita adalah sebagai ibu dan manajer (pengatur) rumah tangga. Ini adalah pandangan yang jernih dan benar terhadap wanita. Sebab tugas ini hanya dikhususkan kepada wanita dan terlaksananya tugas ini akan dapat menjamin lestarinya generasi manusia serta menjamin ketenangan hidup individu manusia dalam keluarganya.
Lestarinya jenis manusia adalah suatu perkara yang sangat penting, sangat erat hubungannya dengan keberlangsungan kehidupan di alam (dunia) ini. Apakah artinya usaha dunia melestarikan lingkungan hidup dan satwa-satwa tanpa memperhatikan kelestarian generasi manusia. Alam ini dan seisinya diciptakan oleh Al Khalik (Pencipta manusia) untuk menopang kehidupan manusia, agar bisa dimanfaatkan olehnya.

Sungguh ironis sekali apa yang dilakukan oleh dunia (khususnya Barat) saat ini, yaitu mengerahkan segala kemampuannya untuk menjaga kelestarian alam, namun disisi lain mengabaikan kelestarian manusia. Bahkan berupaya memusnahkannya (sadar atau tidak sadar). Padahal ini bertentangan dengan naluri manusia itu sendiri.
Semua orang baik laki-laki maupun wanita ingin memiliki keturunan. Mereka akan merasakan kesempurnaan hidup bila sudah memiliki generasi yang bisa meneruskan keluarganya. Maka logis sekali bila pasangan suami-istri yang belum punya keturunan (padahal sudah menikah lama) akan berusaha sekuat tenaga bagaimana supaya bisa menghasilkan keturunan, sekalipun harus dibayar dengan harga yang mahal.

Allah SWT telah menanamkan fitrah ke dalam diri manusia untuk mengembangkan keturunan, agar generasi manusia bisa dipertahankan kelestariannya dalam menjalankan fungsi kekhalifahannya dimuka bumi ini. Dari usaha melanjutkan keturunan ini, Allah telah menetapkan bahwa wanitalah tempat “persemaian” generasi manusia ini. Hal ini harus kita fahami sebagai fungsi utama wanita dalam kehidupan ini. Sebab hal yang demikian itu tidak bisa dijalankan laki-laki.
Untuk menjamin kelangsungan hidup generasi manusia ini, Allah SWT telah menetapkan beberapa hukum yang khusus untuk wanita. Diantaranya hukum tentang kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan anak dan masa iddah bagi wanita yang ditinggal suami (karena cerai/meninggal). Bahkan Allah SWT telah memberikan keringanan kepada wanita agar dia mampu menjalankan tugasnya dengan baik, seperti:

a. tidak wajib bekerja untuk mencari nafkah bagi dirinya maupun keluarganya
b. boleh berbuka puasa pada bulan Ramadhan bagi wanita hamil dan menyusui
c. larangan bagi laki-laki untuk membawa anak (kecil)nya bepergian (jauh) bila anak masih dalam pengasuhan (hadlonah) ibunya
d. dan lain-lain

Semua hukum-hukum tersebut adalah untuk melindungi wanita agar tugas utamanya terlaksana dengan baik (sebagai ibu).
Islam telah menempatkan wanita dengan tugasnya sebagai ibu sebagai posisi yang mulia, mengingat pentingnya peran ibu dalam keberlangsungan generasi manusia. Tanpa kerelaan dan keikhlasan seorang ibu memelihara janin yang dikandungnya selama + 9 bulan, tidak akan lahir anak manusia ke bumi ini. Demikian pula dengan kerelaan dan kesabarannya ketika menyusui dan mengasuh bayinya, berperan besar terhadap pertumbuhan, perkembangan dan kesehatan anak. Posisi seorang wanita yang ridlo dengan kehamilannya sebanding (dari segi pahala) dengan seorang prajurit yang berperang di jalan Allah dan ia sedang berpuasa. Rasulullah saw bersabda:

“…Tidaklah seseorang diantara kamu merasa ridlo jika ia hamil dari hasil dengan suaminya dan suaminya merasa bangga dengan kehamilannya itu; bahwa wanita tersebut mendapat pahala sama dengan seorang prajurit yang puasa ketika berperang di jalan Allah…(THR. Ibnu Atsir).

Peluang Wanita Berperan dalam Pendidikan Generasi
Seorang ibu mengandung janin (calon anak manusia) dalam rahimnya selama + 9 bulan. Setelah lahir ke dunia ia menyusuinya selama 2 tahun serta mengasuhnya sampai mampu mandiri (+ usia 6-9 tahun), yakni mampu mengurus diri sendiri dan mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Inilah aktivitas minimal yang harus dilakukan seorang ibu terhadap anaknya (secara langsung). Dalam keadaan ini berarti seorang ibu memiliki peluang yang besar untuk berperan dalam proses perkembangan seorang anak (minimal 6-9 tahun). Bahkan pada masa awal kehidupan anak ini, peran ibu sangat menentukan kondisi perkembangannya. Dengan demikian, peran ibu sangat besar pengaruhnya dalam proses pendidikan anak, terutama di masa awal perkembangannya. Dan inilah yang menjadi dasar (basic) pada proses pendidikan selanjutnya.

Seorang anak bagaikan selembar kertas putih bersih tanpa ada coretan (tulisan) maupun warna. Orang tuanya lah yang berperan menentukan coretan-coretan dan warna apa yang akan diberikan pertama kali. Dan ini merupakan warna dasar yang akan menentukan warna apa yang akan diterima/dipilih pada proses pewarnaan selanjutnya. Kalau pewarnaan dasar telah menghasilkan warna yang khas, maka warna dasar inilah yang akan menyeleksi warna apa yang akan diterimanya dan diserap kemudian. Sebaliknya jika warna dasar tidak khas dan tidak jelas, maka tidak akan ada proses seleksi untuk menerima warna berikutnya. Bisa jadi warna apapun akan diterima sehingga menjadi warna yang berantakan (tidak khas) dan hasilnya juga akan kacau. Demikianlah permisalan gambaran tentang proses pendidikan pada seorang anak dalam rangka membentuk kepribadiannya. Sebab anak memang dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah). Sebagaimana sabda Rasulullah saw :

“Tidak ada seorang anakpun yang baru lahir kecuali dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Musyrik”(THR Muslim).

Seorang ibu memiliki kesempatan dan potensi yang lebih besar untuk berperan secara langsung dalam proses pemberian warna dasar pada anak , yakni peletak dasar/landasan pembentukan kepribadiannya. Sebab ibulah yang paling dekat dengan anak sejak awal pertumbuhannya, sesuai dengan tugas pokoknya. Sedangkan ayah kemungkinan besar lebih banyak di luar rumah karena menjalankan tugasnya mencari nafkah keluarga. Sekalipun demikian, ayah tetap dituntut peran dan tanggung jawabnya dalam proses pembentukan kepribadian anak. Sebab tugas mendidik anak adalah tanggung jawab kedua orang tuanya, bukan hanya ibu.

Seorang ibu bisa memulai proses pendidikan pada anaknya sejak janin (masih dalam kandungan). Minimal yang harus dilakukan seorang ibu terhadap janin dalam kandungannya adalah memilihkan makanan yang halal dan baik untuk membesarkan janin. Senantiasa berdzikir dan berdo’a kepada Allah SWT, ketika merasakan setiap gejala yang diakibatkan keberadaan janin dalam kandungan. Tidak mengeluh terhadap rasa sakit yang dialaminya di saat hamil, tetapi sepenuhnya berserah diri kepada Allah dan senantiasa mengharapkan pertolongan Allah agar tetap bisa menunaikan segala kewajiban dan tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Berupaya menenangkan perasaan/emosionalnya dengan membaca ayat-ayat Al Qur’an, sehingga suasana hatinya tetap tenang dan ikhlas menjalani masa kehamilannya. Sebab kondisi psikologis seorang ibu – menurut pendapat para ahli akan berpengaruh pada perkembangan janin yang dikandungnya.
Demikian pula setelah anak lahir, ibu berperan besar untuk menciptakan kondisi lingkungan tempat anak dibesarkan. Suara apa yang pertama didengarnya ketika pertama kali ia bisa mendengar. Pemandangan seperti apa yang dilihatnya ketika ia pertama kali melihat. Kata-kata apa yang diucapkannya ketika ia pertama kali berbicara. Dan lingkungan pertama yang masuk ke dalam ‘rekaman kaset kosong’ seorang anak adalah rumahnya. Apa-apa yang ada di dalam rumahnya itulah yang pertama direkamnya, terutama yang paling dekat kepadanya adalah ibu. Oleh karena itu ibulah madrasah pertama bagi anak-anaknya.

Anehnya, saat ini banyak orang tua yang harus mengikuti kehendak anaknya. Bukan anak yang mengikuti kehendak orang tuanya. Ini sudah merupakan suatu problema yang sering muncul di kalangan orang tua saat ini. Bahkan problema ini sudah tersebar luas di mana-mana. Anak mempunyai keinginan – yang lebih besar dipengaruhi lingkungannya – yang berbeda dengan keinginan orang tuanya. Bahkan di aberani menentang orang tuanya demi mewujudkan keinginannya. Hal iniberarti orang tua telah gagal mengisi kaset kosongnya dan memberi warna dasar pada kertas putihnya, yang mampu menjadi landasan perkembangan kepribadian anak serta tolok ukur untuk menyaring informasi dan perilaku serta memilih warna-warna yang ada di luar rumahnya, mana yang akan diambil dan mana yang ditolak.
Wahai para muslimah…optimalkanlah peran untuk mengisi kaset-kaset kosongmu serta memberi warna dasar pada kertas-kertas putihmu yang bersih. Terlaksananya peranmu ini sangat menentukan warna generasi di masa datang.

Potensi Wanita Muslimah dalam Pendidikan Generasi Penerus
Tak dapat dipungkiri lagi bahwa peran wanita sangat besar artinya dalam pembentukan generasi di masa datang, mengingat besarnya peluang dan kesempatan wanita (seorang ibu) berperan mengawali proses pendidikan anak-anaknya sejak dini. Potensi dan kemampuan para wanita muslimah sangat berpengaruh besar membentuk warna dan corak generasi umat Islam di masa datang.

Wanita yang lemah, bodoh dan berperilaku buruk akan menghasilkan generasi yang warnanya tidak jauh berbeda dengan dirinya. Sebab di masa awal, anak mendapatkan teladan yang buruk untuk membentuk eksistensi dan kepribadian dirinya. Anak akan menyerap informasi dan perilaku apapun yang ada didekatnya tanpa bisa memilah-milah mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya kalau wanitanya pintar (menguasai tsaqofah Islam), cerdas, kreatif, berperilaku baik serta berkepribadian Islam yang tinggi, maka warna dasar di masa datang akan baik. Bahkan kalau perannya berjalan optimal, wanita seperti ini akan mampu membentuk generasi yang tangguh, yang tidak terombang-ambing oleh ombak kehidupan. Mereka akan tetap mampu bertahan dan berdiri dengan tegar serta kokoh prinsip hidupnya, apapun kondisi yang menghadangnya.

Seorang ibu harus mampu mendidik anak-anaknya dengan landasan rasa cinta dan kasih sayang yang benar, sehingga anak-anaknya pun akan mempunyai rasa cinta dan kasih sayang yang benar pula terhadap orang tua dan keluarganya. Rasa cinta dan kasih sayang yang benar adalah yang mendahulukan rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya. Dengan demikian rasa cinta pada anak tidak akan menghalangi seorang ibu untuk mendidik anaknya menjadi mujahid yang rela mengorbankan jiwanya untuk Islam. Demikian pula seorang anak tidak terhalangi mengorbankan miliknya yang paling berharga untuk memperjuangkan tegaknya Islam, sekalipun harus berpisah dengan orang tua dan keluarganya.
Banyak sudah contoh para ibu yang berhasil mengarahkan dan mendidik anaknya menjadi anak-anak yang patuh dan berbakti kepada orang tuanya, dan memiliki semangat ruhiyah yang tinggi untuk mengamalkan dan memperjuangkan Islam. Diantaranya adalah Asma’ binti Abu Bakar dan Al Khansa.

Asma’ binti Abu Bakar Ash-Shidiq adalah salah seorang ibu yang patut diteladani. Beliau telah berhasil mendidik anaknya Abdullah bin Zubair sebagai pahlawan Islam yang tangguh imannya dan selalu menginginkan ridlo Allah dan ridlo ibu bapaknya. Dapat kita simak dari petikan percakapan Asma’ dengan putranya Abdullah di saat-saat akhir hayatnya, ketika ia memimpin perlawanan dalam perselisihan dan peperangannya dengan tentara-tentara Mu’awiyah dan puteranya Yazid. Menurut Abdullah, Yazid bin Mu’awiyah bin Abu Sufyan adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah muslimin, seandainya memang dapat…., karena ketidak becusannya dalam soal apapun.
Ditemuinya ibundanya Asma’ dan dipaparkannya dihadapannya suasana ketika itu secara terperinci, begitu pun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata tak dapat dielakkan lagi….
Kata Asma’ kepada putranya:
“Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu! Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, sabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu sampai titik darah penghabisan. Tiada kata menyerah dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak Bani Umaiyah…! Tetapi kalau menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah seburuk-buruk hamba, engkau celakakan dirimu sendiri serta orang-orang yang tewas bersamamu!”
Ujar Abdullah:
“Demi Allah, wahai bunda! Tidaklah ananda mengharapkan dunia atau ingin hendak mendapatkannya…! Dan sekali-kali tidaklah ananda berlaku aniaya dalam hukum Allah, berbuat curang atau melanggar batas…!”
Kata Asma’ pula:
“Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti kepada kedua orang tuanya. Engkau terima disertai cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubair ini, pahalanya orang-orang yang sabar dan bersyukur…!”
Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan dan selamat tinggal. Beberapa hari kemudian, Abdullah bin Zubair terlibat dalam pertempuran sengit yang tak seimbang, sehingga Syahid agung itu akhirnya menerima pukulan maut yang menewaskannya. Tubuhnya diangkat oleh Hajaj bin Yusuf, antek Bani Umaiyah, kemudian disalib untuk menghina ibunya, keluarganya dan penduduk Mekkah. Hal itu diketahui Asma’. Ia mengetahui bagaimana keberanian anaknya dan tentang kegugurannya. Ia bersyukur kepada Allah karena sang anak gugur dalam mempertahankan prinsip dan keyakinannya. Ia berdo’a kepada Allah agar tidak mati sebelum dapat mengurus jenazah anaknya yang suci itu. Do’anya dikabulkan Allah.
Sikapnya terhadap anaknya, ketika sang anak meminta nasehat kepadanya, betul-betul suatu sikap yang membuat algojo yang paling bengis tidak berkutik.

Demikian pula Al Khansa, beliau seorang ibu yang terkenal mampu memberikan dorongan yang kuat kepada putranya untuk berjihad. Beliau seorang ibu yang sabar dan tabah menerima berita bahwa semua anaknya telah syahid satu demi satu dalam satu peristiwa, yaitu di peperangan Qodisyiah. Beliau merupakan contoh wanita yang mempunyai kebesaran jiwa melebihi wanita-wanita lain. Keberanian putra-putranya, keluhuran akhlaq mereka, kefasihan lidah dan keahlian mereka dalam bersyair menjadikan Al Khansa tersohor sebagai wanita yang berhasil sebagai ibu dan pantas menjadi teladan.
Al Khansa memiliki iman, kesabaran dan ketaqwaan yang mantap. Dia selalu ikut andil dalam setiap perjuangan demi tegaknya Islam. Pada tahun 14 H, saat terjadi perang Qodisyiah dia datang bersama keempat anaknya untuk ikut bergabung bersama kaum muslimin lainnya. Mereka diberi bekal berupa dorongan dan semangat dengan kata-kata yang menyala-nyala:
“Wahai putra-putraku! Kalian masuk Islam dengan penuh kesadaran. Kalian berhijrah dengan penuh kerelaan. Demi Allah, tiada Tuhan selain Dia. Kalian adalah empat bersaudara dari satu ayah dan satu ibu. Aku tidak akan mencampuri kehormatan kalian, tetapi kalian telah mengetahui, apa yang dijanjikan bagi kaum muslimin yang memerangi kaum kafir. Sadarilah…! Kehidupan akhirat lebih kekal dan lebih baik dari kehidupan dunia yang sementara ini. Bulatkan tekad dan kesabaran kalian. Bertaqwalah kalian selalu agar apa yang kau inginkan berhasil.
“Wahai putra-putraku ! Jika kalian lihat api peperangan telah berkecamuk dan menjadi dahsyat, masuklah kalian dengan semangat yang menyala-nyala. Disanalah kalian akan menemukan keuntungan dan kehormatan di alam abadi dan kekal”.
Berbekal semangat yang dipompakan ibunya itu, keempat anak Al Khansa pun berangkat ke medan perang dengan penuh iman dan keberanian. Tujuan mereka satu yaitu mencari syahadah, dan itu pun diperolehnya. Mereka gugur dalam pertempuran itu. Sementara ummat Islam memperoleh kemenangan, Al Khansa menerima kabar keadaan putranya dengan penuh sabar.
Bahkan kebanggan tumbuh dihatinya, melihat putra-putranya menjadi syuhada dalam pertempuran besar itu. Dia berkata:
“Alhamdulillah…! Allah telah mengutamakan dan memberikan karunia padaku dengan kematian anak-anakku sebagai syuhada. Aku mengharap semoga Allah mengumpulkan aku dengan mereka di dalam rahmat-Nya kelak”.

Ini adalah dua diantara sekian ibu teladan yang mampu menghantarkan putra-putranya menjadi para mujahid yang tangguh, rela mengorbankan miliknya yang paling berharga untuk kejayaan/ketinggian Islam. Masih ada contoh lain para ibu yang mampu menghantarkan putranya menjadi ilmuwan bahkan mujtahid. Diantaranya: Ibunda Imam Abu Hanifah, Ibunda Imam Syafi’I, Ibunda Imam Ahmad bin Hambal dan Ibunda Imam Bukhari. Keempat imam ini ditinggal ayahnya sejak kecil (yatim), ibunyalah yang memelihara dan mendampingi mereka hingga besar. Mereka memiliki daya hafal yang tinggi sejak kecil. DI usia mudanya mereka sudah menguasai bahasa Arab dan seluk beluknya, hafal ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi, serta sangat gemar menuntut ilmu. Memang untuk menguasai banyak ilmu mereka belajar dari banyak guru. Belajar bahasa Arab ke beberapa orang guru, fiqih ke beberapa orang guru, dan hadits Nabi ke beberapa orang guru. Tapi setidaknya ibunda para imam tersebut telah mampu mendidik mereka menjadi anak-anak yang gemar menuntut ilmu dan tidak kenal lelah. Satu hal yang lebih penting lagi adalah mereka punya rasa kemandirian yang tinggi sejak usia muda, sebab para imam tersebut rata-rata berada dalam kehidupan yang miskin. Mereka berusaha sendiri mencari biaya untuk kebutuhan hidupnya dan biaya perjalanan, sebab mereka belajar ke berbagai kota. Imam Ibnu Hambal misalnya, beliau pernah bekerja di tukang-tukang jahit, memungut sisa-sisa panen yang tertinggal setelah meminta ijin pada pemiliknya, mencari upah dari menenun kain dan menulis, bahkan pernah mencari upah dengan mengangkut barang-barang di perjalanan seperti kuli angkut. Semua ini beliau lakukan untuk keperluan hidupnya dan biaya perjalanannya agar bisa menuntut ilmu.

Dari contoh-contoh ini kita dapati betapa besar peran ibu mendampingi dan mengarahkan anak-anaknya. Kemiskinanpun tidak menghalangi seorang ibu untuk menghantarkan anak-anaknya menjadi orang yang berilmu sebab seorang ibu bisa menanamkan rasa kemandirian yang tinggi kepada anaknya agar sanggup berkorban apapun demi meraih kemuliaan hidupnya di hari akhir nanti (di hadapan Allah SWT).

Dengan demikian agar peran wanita muslimah dalam pendidikan generasi di masa datang bisa optimal untuk menghasilkan generasi para mujahid tangguh, politikus ulung dan para mujtahid, maka proses pembinaan para wanita muslimah tidak boleh dicukupkan ala kadarnya apalagi diabaikan. Para wanita muslimah harus dibina dengan tsaqofah Islam secara mapan atau mendalam, sehingga dia mampu mengarahkan dan bahkan mendidik anak-anaknya menjadi generasi-generasi yang diharapkan mampu berperan meraih kejayaan Islam kembali.

Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anak-anaknya menjadi mujahid kalau dia tidak memahami betapa mulianya kedudukan seorang mujahid. Mana mungkin seorang ibu mampu menghantarkan seorang anak menjadi ulama sementara dia buta terhadap tsaqofah Islam. Apalagi kalau dorongan ruhiyahnya tidak ada. Dorongan ruhiyah sebagai kekuatan pokok yang menggerakkan seorang ibu untuk berperan optimal. Bagaimana mungkin seorang ibu mampu mendidik anaknya menjadi pejuang-pejuang Islam kalau dirinya sendiri masih enggan berkorban untuk Islam. Dia masih lebih mengutamakan kemapanan materi daripada berbuat sesuatu yang lebih mulia di hadapan Allah. Ia masih lebih mencintai urusan dunianya daripada melakukan kewajibannya kepada Allah. Mustahil ibu seperti ini akan mampu mencetak generasi harapan umat untuk meraih kebangkitan dan kejayaan Islam kembali.

Wahai para muslimah…dengan berfikir secara jernih dan mendalam, mari kita berbenah diri, membekali diri kita dengan memperkaya tsaqofah Islam dan membentuk ruhiyah yang tinggi agar kita menjadi ibu-ibu yang mampu mengubah corak generasi kita, sebagai peletak dasar warna dan corak generasi manusia di masa datang.

Penutup
Demikianlah gambaran tentang besarnya peran dan tanggung jawab wanita dalam proses pendidikan generasi. Namun ini baru peran minimal yang terbatas pada lingkup keluarga serta wadah yang tidak formal. Masih ada peran lain yang harus diterjuninya sebagai wujud pelaksanaan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, yakni mendidik/membina masyarakat agar senantiasa terikat syariat Islam. Sebab wanita juga terkena kewajiban amar ma’ruf nahi munkar.

Referensi:
Abdul Badi’ Shaqr. Wanita-wanita Pilihan. Pustaka Manthiq. 1990.
Ahmad Asy Syurbasy. Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab.
Jabir Asysyaal. Al Qur’an bercerita Soal Wanita. GIP. 1989.
Khalid Muh. Khalid. Karakteristik Perihidup Enam Puluh Sahabat Rasulullah. CV Diponegoro. Bandung. 1981.
Nashir bin Sulaiman Al-’Umr. Kedudukan Ilmu dan Ilmuwan dalam Islam. Pustaka Al Kautsar. 1994.
Shahih Muslim.

About Muhammad Taqiyyuddin Alawiy

- PENGASUH PONDOK PESANTREN SALAFIYAH SYAFI'IYAH NURUL HUDA MERGOSONO KECAMATAN KEDUNGKANDANG KOTA MALANG - Dosen Fakultas Teknik Elektro Universitas Islam Malang
This entry was posted in Pendidikan anak. Bookmark the permalink.

Leave a Reply